Lokasi tes wawancara untuk pendaftar Jabodatabek berada di kampus STAN, Bintaro, Tangerang Selatan. Pusing saya memikirkan cara menuju Bintaro. Sejak kerja jadi wartawan di Jakarta, hanya kurang dari 5 kali saya menginjak kawasan Bintaro. Selain itu, jadwal hari pertama adalah pukul 9 pagi. Akhirnya saya menetapkan target, harus tiba di STAN pukul 8.30. Apakah saya bawa mobil saja, atau naik taksi? Atau naik kereta? Atau bahkan naik ojek…?. Hmmm, googling lah saya, dengan keyword STAN Bintaro. Ternyata ada banyak blog yang memberi penjelasan rute ke STAN Bintaro lewat angkutan umum, kompliiit.
Setelah googling, saya juga tanya – tanya ke teman kantor lewat whatsapp. Saya ambil keputusan, tetap naik mobil ke kantor, parkir di kantor, lalu naik commuter line di Stasiun Palmerah. Benar saja. Stasiun Pondok Ranji ditempuh kurang dari 45 menit dari stasiun Palmerah. Dari stasiun, sebenarnya ada Angkot yang terparkir sekitar 5 menit jalan kaki dari pintu keluar stasiun. Karena 10 menit lagi jam setengah 8, saya memutuskan naik ojek bertarif 10 ribu rupiah, dan turun tepat di depan pintu Aula STAN. Ehehhe
Aula STAN ini nampaknya tidak dirancang sebagai ruangan ber-AC. Walhasil, beberapa kipas angin di pojok ruangan tidak mampu menetralkan udara panas yang membuat ratusan peserta tes sibuk mengipas diri masing – masing.
Di Hari pertama ini, peserta membawa dokumen asli, sesuai dengan data yang telah diinput saat mendaftar online. Saat itu, ada seorang pelamar beasiswa S3 harus pulang ke Bandung karena transkrip nilai S2 asli miliknya berada di Bandung. Untunglah, sekitar jam 3 sore, pelamar tadi bisa kembali dan menunjukkan dokumen aslinya.
Dokumen yang diperiksa adalah formulir online yang sudah diprint, ijasah, transkrip nilai, sertifikat tes bahasa, akte kelahiran. Namun, peserta, termasuk saya, juga membawa sertifikat lainnya, seperti sertifikat prestasi saat menjadi mahasiswa. Bagi yang sudah punya, verifikator juga akan memeriksa LoA. Saya sendiri ditanyai oleh verifikator. “ini LoA masih conditional ya? Kapan dilengkapi supaya jadi unconditional..?
Hari pertama tes wawancara, saya kebagian ikut Leaderless Group Discussion (LGD) di jam 9.15. Peserta LGD dibagi menjadi kelompok. Per kelompok terdiri dari 12 orang. Saat itu, topik LGD kami terkait politik, yakni opini Kwik Kian Gie berupa analisis kenapa Presiden Jokowi harus menaikkan harga BBM ketika itu. Penguji LGD adalah dua orang psikolog. Mereka tidak memperkenalkan diri. 2 ibu psikolog di ruangan membagian fotokopi artikel Kwik yang dimuat di harian Kompas. Saya sendiri sudah membaca opini Pak Kwik via online. Namun, LGD bukan menguji analisa atau opini ataupun debat para peserta. Psikolog di ruangan kami menjelaskan, yang ingin dilihat adalah bagaimana sikap para peserta selama proses diskusi berlangsung. Sebelum diskusi dimulai, saya menawarkan diri menjadi moderator.
Seingat saya, proses LGD hanya berlangsung 20 atau 30 menit saja. Selanjutnya, seluruh anggota kelompok kami bisa meninggalkan area STAN Bintaro.
Saat tes wawancara hari kedua, saya sudah berani meninggalkan ojek dan memilih naik angkot menuju kampus STAN. Saya merasa hari itu lebih berat dari sebelumnya. Saya harus berhadapan dengan 3 panelis, membuktikan kenapa saya pantas mendapatkan beasiswa ini. Saya kembali bertemu dengan rekan sekelompok kemarin. Ada beberapa teman yang sudah lebih dulu diwawancara. Namun, peserta yang sudah melalui tes dilarang keras untuk memberitahu pertanyaan ataupun interaksi yang berlangsung saat wawancara berlangsung..
Saya diwawancara 2 orang bapak dan 1 orang ibu. Mereka tidak memperkenalkan diri. Sesi wawancara dimulai dengan menanyakan informasi pribadi berupa pekerjaan, jenjang pendidikan sebelumnya. Saya sendiri ditanyai apa hubungan saya dengan pemberi surat rekomendasi dan bagaimana saya bisa mendapat surat rekomendasi dari referee saya. Sejauh ini, sesi berlangsung lancar,
Tapi, benar kata pepatah, bahwa kita tidak boleh terlalu dini berpuas diri. Ibu panelis di ujung kiri, ternyata pernah mengambil S2 di bidang komunikasi, sama dengan bidang yang akan saya ambil. Dannnnn, pertanyaan – pertanyaan berikutnya dilontarkan dalam bahasa Inggris. Dudududu.
Terjangan pertanyaan dari si Ibu berusaha saya tangkis. Sampai akhirnya Bapak panelis paling kanan bertanya dengan bahasa Indonesia. Legaaaa. Pertanyaan bapak ini, adalah, apakah saya berminat menjadi dosen setelah sekolah nanti. Saya jawab dengan agak ragu sebenarnya. Jika ada peluang, saya tidak keberatan, begitu jawabku ketika itu. Bapak panelis tadi cukup puas dengan jawabanku.
email yang dinanti |
Jujur saja, saya terbata saat melakukan reportase langsung. Topik reportasi saya, adalah suasana seleksi wawancara LPDP hari itu. Maksudnya, biar gampang gitu. Tapi, tetap saja saya tidak all out. Saya tidak menyiapkan diri untuk hal yang satu ini. Benar saja. Panelis mengeritik cara reportaseku yang tersendat, dan tatapan mataku yang menyebar. Hahhaahaha. Ampuuun panelis.
Lega rasanya saat waktu akhirnya habis untuk sesi wawancaraku. Saya keluar ruangan lewat pintu cokelat bergagang besi. Di luar, teman – teman kelompokku bertanya dengan khawatir.. “gimana ki..”. saya bingung jawab apa. Yang pasti, mukaku merah. Macam pegulat The Rock yang baru saja selesai dibantai Rikishi. LOL
No comments:
Post a Comment