Saturday, October 29, 2016

Model Belajar di Kampus UK - Sulitkah?

Sering saya ditanya.
Susah tidak belajar di UK?
Bisa ngikutin gak pelajaran di sana?
Ngerti gak dosennya bilang apa?

Pertanyaan berbau kekhawatiran seperti di atas, juga menjadi pertanyaan saya sejak pertengahan tahun 2015, saat mengawali proses aplikasi ke beberapa kampus di Britania Raya. 

Setibanya di Glasgow, saya bertanya kepada kak Yangie, mahasiswa UofG angkatan 2015. Kak Yangie menjawab dengan bahasa yang membangkitkan kepercayaan diri saya,

"Mahasiswa Indonesia itu bisa bersaing kok Ky, tenang aja. Dosen - dosen juga mengakui kalau mahasiswa kita tuh bagus - bagus. Pasti ada adaptasi. Tapi yakin deh, kamu bisa kompetitif".

Setelah menjalani 12 bulan studi, perkataan Kak Yangie seluruhnya benar. 

------


Saya mengidentifikasi ciri kehidupan akademik di kampus UK dalam sebuah artikel yang waktu itu kami susun sebagai buku panduan kehidupan pelajar Indonesia di Glasgow, bersama dengan kawan - kawan di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Greater Glasgow.

Berikut artikelnya:

---------
Ada dua hal yang penulis garis bawahi terkait ciri kehidupan akademik di Glasgow. Hal ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis serta persepsi yang penulis serap dari penuturan sesama pelajar Indonesia yang menempuh studi di Glasgow. Tantangan utama dalam kehidupan akademik secara garis besar terbagi dua. Pertama menciptakan karya yang orisinil yang jauh dari plagiarisme dan kedua memenuhi standard peniliaian yang objektif. 

1. Orisinalitas adalah Segalanya 

Sejak masa orientasi, pihak kampus selalu menekankan untuk menjauhi plagiarisme. Well, sepintas tak ada bedanya saat Masa Orientasi Siswa (MOS) di program S1 di Indonesia. Tapi, imbauan menjauhi plagiarisme ini begitu giat. Sampai akhirnya dosen penulis memberi pekerjaan rumah untuk mengikuti tes anti-plagiarisme secara online. Astaga, sulit sekali menjawab dengan benar 80 persen pertanyaan di tes tersebut. Untungnya, kita bisa mengulang berkali - kali sampai mendapatkan sertifikat. 

Tes anti - plagiarisme tadi menguji kepekaan kita dalam memberikan judgement apakah sebuah paragraf dikategorikan plagiat atau tidak serta masuk jenis plagiarisme apa paragraf tersebut. 

Kami juga dikenalkan dengan perangkat lunak yang bisa mendeteksi plagiarisme. File tulisan diunggah dan dipindai. Sekitar 1 jam kemudian, akan ada email yang berisi score kemiripan tulisan kita dengan tulisan yang sudah pernah dipublikasikan. Bahkan, perangkat lunak ini bisa memberi highlight kalimat mana yang tingkat kemiripannya sangat tinggi. Toleransi kemiripan adalah 20 persen. Selebihnya, tulisan kita akan dikategorikan plagiat. 

Karena aturan yang  ketat inilah, banyak upaya ekstra yang harus dilakukan oleh mahasiswa. Antara lain: membaca lebih teliti; mencatat seintens mungkin; serta mengelola catatan serapi mungkin. Tak hanya itu, kepekaan dan intuisi juga diuji. Kedua hal ini perlu, misalnya saat mesin pencari ‘meminta’ kata kunci namun kita lupa apa terminologi yang pas untuk mencari apa yang hendak kita cari. 

Sayangnya, upaya ekstra ini tidak punya jalan pintas. Mahasiswa tidak boleh alergi membaca buku atau jurnal. Kedua bahan bacaan ini pun tidak sekadar dibaca sambil lalu tapi harus dibaca intensif. Beberapa dosen menyarankan untuk membaca sambil mencatat. Dan ya, cara ini lebih efektif untuk menghadapi rutinitas esai dan juga saat ujian tiba. 

Penulis menggunakan aplikasi online refme untuk mencatat referensi sekaligus quotes penting yang ditemui selama proses reading. Selain itu, catatan manual juga penulis kumpulkan secara tematik. Menurut penelitian, seseorang cenderung mudah mengingat jika apa yang dia baca jika proses membaca dilakukan sambil menulis. 

Catatan terakhir terkait orisinalitas adalah kewajiban bagi mahasiswa untuk mengakui hasil karya orang lain. Kalau ditarik benang merahnya, boleh dikata, konsekuensi dari orisinalitas adalah pengakuan terhadap karya orang lain. Inilah hakikat dari anti - plagiarisme. Para pengajar di sini sangat menekankan pentingnya meng - acknowledge riset yang sudah dilakukan ataupun teori yang pernah dikemukakan oleh orang lain. 

2. Penilaian Objektif 
Kriteria pemberian nilai atau assessment bersifat transparan. Mahasiswa memiliki akses terhadap kriteria penilaian dan sejauh mana pencapaian dari mahasiswa berdasarkan kriteria itu. 

Saat nilai sudah diumumkan, seringkali dosen memperlihatkan tabel persebaran nilai mahasiswa. Lewat tabel ini tergambar pendapaian mahasiswa dan nilai rata - rata kelas serta feedback dari sang dosen. 

Demi menjaga objektivitas pula, umumnya mahasiswa tidak menulis identitas jelas dalam lembar jawaban ujian maupun sampul dan nama file dari tugas esai, tapi hanya menuliskan kode nomor induk. Pada beberapa kasus, identitas mahasiswa diidentifikasi dari barcode. Dengan demikian, identitas mahasiswa dapat tersamarkan dari pemeriksa ujian ataupun esai. 

Objektivitas pemberian nilai dipertanggungjawabkan oleh dosen di hadapan examination board. Kalau mahasiswa keberatan dengan nilai yang diterima, laporannya dapat dikirimkan ke examination board ini. Di akhir semester, mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk melakukan resit terhadap mata kuliah yang nilainya di bawah standard atau fail. 

Setiap dosen juga tidak lepas dari quality control dari pihak universitas. Mahasiswa selalu diminta memberikan feedback melalui kuisioner di penghujung kelas. Lewat medium ini, mahasiswa bisa mengeluarkan unek - uneknya, termasuk memberikan ide untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar. 

-----

Model assessment yang ketat seperti saya uraikan di atas mendorong mahasiswa untuk lebih serius belajar. Saat S1, saya hanya belajar di malam jelang ujian. Seringkali bahkan tidak belajar sama sekali karena sudah percaya diri dengan apa yang saya ketahui terkait materi yang akan diujiankan.

Model sistem kejar semalam ini tidak bisa diterapkan saat belajar di UK. Membaca harus lebih sering. Diskusi juga harus dilakukan. Tidak jarang, saat proses brainstorming sebelum menyusun esai, saya berdiskusi dengan rekan lain yang jurusannya berbeda. Saat esai sudah tahap finalisasi, saya kembali berdiskusi untuk mengetahui apakah jalan berpikir saya terhadap suatu topik sudah makes sense atau belum.

Saat exam week, perpustakaan penuh. Dedek - dedek S1 bergerombol dan melantai, membaca, meringkas catatan, dan berdiskusi. Exam vibes begitu terasa di perpustakaan. 

Kenapa harus serius mengerjakan esai dan menghadapi ujian?
Karena penilaian objektif sebagaimana saya uraikan di atas.

Bagi saya, masa 3 bulan begitu cepat berlalu dan saya lalui dengan kerja keras untuk adaptasi. Bahasa Inggris saya tidak bagus - bagus amat. IELTS saya pas sekali dengan skor yang dipersyaratkan.

Lepas 2 bulan, saya baru paham. Agar lebih luwes catch up dengan ceramah dosen, saya harus membaca sebelum masuk kelas. Harus.

Saat saya terapkan, hasilnya signifikan. 
Saya mengerti apa yang dosen deskripsikan. Saya paham konteks contoh - contoh yang diberikan. Saya punya beberapa pertanyaan untuk dikritisi berdasarkan pandangan - pandangan dari penulis dan praktisi - hasil bacaan saya sebelum kuliah mulai. 

------
Setelah masa adaptasi, apa yang dikatakan Kak Yangie seperti di awal tulisan ini, benar - benar saya buktikan sendiri.

Belajar di universitas dengan reputasi tinggi - dengan sejarah teaching excellence ratusan tahun - memang sulit dan menantang. Tapi, bisa dijalani dan ditaklukkan. 


Penulis: Okky Irmanita
MSc Media Management University of Glasgow - 2015



Tuesday, July 26, 2016

Findings - Conclusions_ProofRead 1 Revised

Okky Irmanita has attached the following document:
Findings - Conclusions_ProofRead 1 Revised
Google Docs: Create and edit documents online.Logo for Google Docs

Tuesday, May 3, 2016

Don't be a Desk Hog!

"Don't be a Desk Hog!"

Tulisan ini tertempel di dinding - dinding depan lift perpustakaan sejak bulan April lalu. Poster - poster ini menyantumkan logo Student Representative Council (SRC) - semacam BEM di kampus - serta logo Glasgow University Library. Bisa diasumsikan, pesan ini brought to you by kedua lembaga yang saya sebut tadi.



Apa sih Desk Hog itu?

Menurut Google Translate, Hog artinya babi atau juga bisa diartikan sebagai 'orang kotor yang rakus'. Benar saja, dalam setiap poster "Don't be a Desk Hog" ada logo babi di situ.

Kampanye ini, selain lewat poster, juga aktif disebarkan di media sosial. Di twitter, hampir tiap hari @uofglibrary ngetweet soal imbauan jangan rakus memakai meja di perpustakaan.

Jadi, Desk Hog adalah julukan bagi sesiapa yang 'menginvasi' meja - meja di perpustakaan. Berkut ilustrasinya:

- Tag meja dulu pagi - pagi, terus balik lagi ke kosan.
- Tag meja untuk diri sendiri dan teman. Ada juga kasus, 'tag massal' ini menginvasi 3 meja sekaligus.
- Jam 12 tinggalkan meja untuk makan siang, baru kembali lagi usai makan malam.

Praktik Desk Hog seperti di atasnya sebenarnya lazim terjadi. Bahkan saya pun pernah melakukan hal - hal di atas (kecuali tag 3 meja sekaligus - saya hanya pernah tag 2 meja :D).

Yang problematik, ketika musim ujian seperti bulan April - Mei seperti sekarang. Meja - meja di perpustakaan sanagt high demand. Mahasiswa datang dengan tiap kebutuhan. Melakukan resensi, mengetik esai, melakukan in - depth reading, dan melakukan presentasi kelompok. Semua fasilitas untuk beragam aktivitas ini tersedia di perpustakaan. Sayangnya, jumlah mahasiswa dan ketersediaan fasilitas tidak selaras.

Kemarin, Senin (2/05/16), saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa satu meja belajar sangat berharga dan betapa wujud Desk Hog akut itu benar benar nyata.

Saya tiba di perpustakaan beberapa menit lagi jelang jam 09.30. Sudah tidak banyak meja lowong di Level 5 Postgraduate Study Room. Akhirnya saya duduk di sebelah mahasiswa Tiongkok. Saat saya mengeluarkan laptop, baru saya sadari, ada buku catatan punya mahasiswa sebelah saya yang diletakkan 'di area' meja saya. Wah, kayaknya pengen nge - tag nih si doi, pikirku dalam hati.

Sementara, di sebelah kanan saya, ada meja belajar tunggal yang tak berpenghuni. Tapi saya tidak duduk di situ, karena di atas meja ada setumpuk handout. Pertanda kalau meja itu sudah ditag.

Menjelang jam 10, seluruh meja di ruangan sudah ada 'berpenghuni'. Hingga jam 11, beberapa orang masih masuk ke ruangan yang menggunakan akses ID Card ini. Mereka hanya bisa mondar - mandir kesal karena TIDAK ADA LAGI meja yang lowong.

Sampai akhirnya, ada satu pemuda dengan nafas terengah - engah mendekati satu - satunya meja yang kosong - yang tak lain adalah meja di sampingku.

Diambilnya setumpukan handout di atas meja, lalu dihempaskannya ke sebelah kiri - bawah meja. Dia lalu membuang badannya ke kursi dan mengeluarkan laptop, satu can kopi Starbucks, serta satu botol jus jeruk. Dia adalah pemuda bule yang setengah marah dan setengah demanding untuk belajar, mengerjakan tugas, mengetik, atau apapun itu - menggunakan laptopnya.

Saat jam makan siang, saya sempat ke ATM di Byres Road sekaligus singgah ke Hillhead Library dan membuat member card di sana. Hampir satu jam saya tinggalkan meja saya. Dengan penuh perasaan bersalah tentunya. Di ruangan, beberapa kursi juga ditinggal, pertanda pemiliknya sedang 'keluar makan siang'.

Di lobi perpustakaan, buanyak sekali mahasiswa. Sebagian malah melantai. Antrean kopi di Library Cafe juga tak ubahnya hari - hari biasa. Mbak - mbak pegawai di kafe terlihat lelah. Di sudut mata kirinya, ada lelehan eyeliner yang mungkin akibat dirinya mengucek mata.

Hari ini, Selasa (3/05/16), perpustakaan masih ramai sekali. Saya kembali ke Postgraduate Level 5. Beberapa hari ini, saya memutuskan akan membawa laptop saja. Jaga - jaga kalau tidak dapat PC. Di artikel sebelumnya [http://okkyirmanita.blogspot.co.uk/2016/03/postgraduate-study-space.html] saya menulis, saya lebih senang di Level 3 atau 4. Level 3 terutama, karena boleh makan, boleh menerima telepon, dan boleh mengobrol.

Tapi, untuk musim ujian ini, saya akan bertahan di level 5 - yang hangat - dan membawa laptop.

Rekor hari ini: 09.32, dan sudah ada mahasiswa yang terpaksa keluar ruangan karena tidak mendapat tempat.

Library Tempat Belajar

Seberapa sering saya mengakses perpustakaan di kampus - kampus Indonesia? Rasionya mungkin 10 dibanding 1 jam. Iya, sejak kuliah di UofG, persepsi saya tentang perpustakaan menjadi berbeda. Di sini, perpustakaan adalah nyawa mahasiswa.

Bukan hanya karena resource yang dimiliki library: buku, koleksi peta, koleksi video book, dan lain - lain. Melainkan juga karena pola belajar di sini yang menekankan kemandirian belajar mahasiswa. Untuk mengakomodasi hal tersebut, kampus membuatlah "pusat belajar" dengan segudang fasilitasnya.

Tidak hanya untuk invidual learning, perpustakaan juga menyediakan group study room yang bisa digunakan untuk kerja kelompok. Dalam ruangan kerja kelompok, juga disediakan perlengkapan untuk presentasi.

Perpustakaan juga mendorong hasrat kreativitas mahasiswa. Terutama di level 3, ada beberapa spot untuk hangout. Di depan kantin alias Food for Thought - Library Cafe, ada deretan meja bar yang lengkap dengan colokan listrik.

Di depannya, ada pula meja bulat - bulat dan kursi. Di sudut yang transparan karena jendela besar, ditaruh sofa - sofa hitam yang nyaman sekali digunakan untuk bercengkerama.

Kalau sudah menggebu - gebu memaparkan fasilitas di Libary UofG, saya selalu bermimpi perguruan tinggi di Indonesia juga punya fasilitas selengkap ini. Setidaknya ada sebuah tempat untuk study centre yang juga jadi inkubator untuk kreativitas mahasiswa. Mengakomodasi mahasiswa yang ingin jadi peneliti, jadi orator, atau bahkan jadi pusat inspirasi bagi mereka yang ingin terjun ke industri lifestyle.

Monday, April 25, 2016

Saatnya Bakar - Bakar

Mulai pekan ini, minggu keempat April 2016, mahasiswa di University of Glasgow (UofG) akan menghadapi masa ujian. Sebelum masa itu tiba, Indonesian Society (Indosoc) di UofG memutuskan mengadakan acara kumpul - kumpul sembari bakar - bakar.

Yang dibakar antara lain sayap ayam yang sudah dibumbui, sosis, burger, dan jagung.

Kebetulan saya dan Eliz yang membelanjakan bahan - bahan ini. Kami membeli 3 kilogram sayap ayam; 2 kilogram ayam mix cut, 3 pak sosis sapi, dan dua bungkus burger. Teman - teman yang lain membawa roti, salad, buah dan jus. 

Hampir 30 orang mahasiswa Indonesia di UofG datang ke Kelvingrove Park - yang letaknya di samping Main Building UofG - tempat acara ini berlangsung. 

Kebetulan, di taman ini ada beberapa meja khusus BBQ dengan pelat persegi di tiap meja untuk tempat arang atau briket. Untuk memakai meja khusus BBQ ini juga tidak perlu izin dan tidak dikenakan biaya.
Jagung bakar pedas kreasi Mas Osa.
difoto oleh Shinta Yanirma

Cuaca hari Minggu (24/4/16) juga sangat mendukung. Meski saat jam 11 pagi, sempat turun hujan yang memaksa saya dan Eliz, ketua Indosoc UofG, mengungsi ke kosan Mbak Putu yang kebetulan tak jauh dari taman. 

Saat arang sudah hampir habis, seluruh 'peserta' mulai berberes dan berkumpul ke satu meja. Semuanya riang dan kenyang. 

Keluarga besar Indosoc UofG.

Thursday, April 21, 2016

Pasar Ikan Glasgow





Ikan, udang, kepiting, atau sederet jenis seafood lainnya terbilang Cimakanan mewah di Glasgow. Selain harganya mahal, seafood yang dijual dalam kondisi tidak beku juga sulit didapatkan. Jadi, sebagai mahasiswa yang uang belanjanya terbatas dan waktu luangya hanya cukup untuk aktif di media sosial, seafood selalu tidak masuk dalam daftar belanja kami para pelajar. Makanya, saat kami berkesempatan jalan - jalan ke Oban untuk makan seafood rasanya mewaaaaaaaah sekali.


Bagaimana dengan ikan kaleng atau kita kenal juga dengan istilah ikan sarden. Jenis sarden ada banyak!. Di supermarket seperti Tesco dan Sainsbury bahkan tersedia sarden yang diproduksi sendiri oleh minimarket tersebut. Harganya juga murah, di bawah £1. Tapi, jangan tanya rasanya. Satu hal yang jadi pelajaran: bumbu sarden di Indonesia sangat gurih dan membuat ikannya juga ikutan gurih.

Sebagai pembanding, saya pernah membeli sarden di supermarket yang menjual aneka bahan makanan impor dari Asia. Rasanya enak, bumbunya mirip dengan sarden - sarden di Indonesia.

------

Pagi ini, Rabu 21 April 2016, saya dan Eva mencoba petualangan baru: mengunjungi Glasgow Fish Market. Malam sebelumnya, saya sudah sempat googling soal tempat ini. Lumayan jauh dari West End, tempat kami bermukim. Opsinya, kami harus naik Subway sekali + naik bus sekali atau naik bus dua kali atau naik jalan kaki 20 menit ke Partick Train Station dan naik kereta ke sana.

Subuh hari jam 5.38, kami belum memutuskan akan mengambil opsi apa untuk ke pasar ikan. Yang menarik, ternyata Google Maps tidak menampilkan Opening Times dari si pasar ikan. Padahal biasanya, tempat - tempat publik yang kita cari di Google Maps menyantumkan opening times.

Tidak seperti tempat publik lainnya, cukup susah ternyata untuk sekadar mendapatkan informasi jam buka pasar Ikan Glasgow.
Saya sudah googling malamnya, dan membaca artikel di sebuah forum diskusi yang bernama "The Glasgow Hidden Forums" kebetulan pernah membahas topik pasar ikan Glasgow. Di forum itu, seorang member memberi komentar kalau pasar ikan Glasgow buka dari jam 2.30 dini hari sampai dengan jam 7 pagi. Saya liat jam. Whatttt, sedikit lagi jam 06.30. Belum jalan ke sana - belum nyari - nyarinya - belum milih - milihnya.

Lalu, kami mendapat satu nama "John Vallance". Situs review yelp.co.uk memajang nama tersebut sebagai salah satu kios ikan terbaik di kota ini. Akhirnya kami googling lagi, dan dapat informasi jam bukanya di all-opening-hours.co.uk.

Di website tersebut tertulis jam buka John Vallance, salah satu kios di Glasgow Fish Market, adalah jam 3.30am - 12.00am. Entah kami harus percaya situs ini atau forum diskusi dunia maya The Hidden Glasgow tadi.

Sempat saya dan Eva pasrah (cailah) dan terpikir untuk mencoba lagi besok untuk ke pasar ikan. Tapi, saya lalu terpikir ide untuk naik taksi saja ke sana, dan baru naik angkutan umum sepulangnya. Keputusan ini berujung menjadi keputusan yang tepat.

Kami menunggu Uber Taksi sekira 6 menit. Taksi ini membawa kami selama kurang lebih 10 menit dengan kondisi jalanan masih sangat lengang.

Saat kami tiba di Blochairn Road, kami tidak melihat kios atau lapak ikan segar. Yang kami lihat adalah peti - peti berisi wortel, bawang bombay, dan forklift warna hijau. Saya pun turun dan bertanya. Oh, ternyata Blochairn Market ini terdiri dari pasar sayur dan buah serta pasar ikan segar.

Bentuk pasar ini seperti gudang, kami serasa ada di kawasan industri. Banyak juga mobil parkir, tapi tidak banyak orang. Orang - orang yang mondar mandir memakai seragam khusus yang mengindikasikan kalau mereka adalah pekerja di tempat ini.

Kami akhirnya masuk ke gudang yang paling belakang, tempat pasar ikan berada. Sepi sekali di situ. Yang ada hanya beberapa pekerja sibuk memindahkan peti - peti ikan. Wah, jangan - jangan pasar ini cuma melayani pembelian grosir. Kami teringat lagi saat googling sempat beberapa kali muncul kata "whole sale" saat kami mencari informasi tentang Glasgow Fish Market.

Kami menemukan tulisan "John Vallance", kios ikan yang kata Yelp paling top di kota ini. Setelah beberapa saat bingung karena suasana pasar ikan ini tidak sesuai espektasi kami, Saya bertanya ke mas - mas muda yang habis ngobrol dengan temannya. Ternyata memang benar dia ganteng.
Eh, maksudnya, ternyata memang benar kios ini menjual ikan dalam jumlah grosir. Tapi mereka juga melayani partai kecil. "It depends on you how many fish you want to buy. But I actually do not know much, I can show you a person who can explain..".

Kami ketemu mas - mas ganteng (lagi), kali ini lebih mature dibandingkan yang pertama. Dia mengajak kami ke bagian depan gudang (ternyata karena muter - muter kebingungan, kami justru masuk dari pintu belakang kios. Hahaha).




Kami ditunjukkan beberapa jenis ikan segar yang ada di dalam box putih. "This is red snapper, mackarel, monkfish…", kata si mas menjelaskan nama - nama ikan. Saya membuka kembali browser di ponsel saya. Saya sudah siapkan laman yang memuat "nama - nama ikan dalam bahasa inggris" Hehehe.

Ternyata, beli ikan satu ekor juga boleh di sini. Ikan lalu ditimbang, dan dihitung dengan kalkulator di iPhone. Wait, IPHONE?

Ya, si mas - mas yang melayani kami menggunakan iPhone 6 yang dikeluarkan dari sakunya untuk menghitung berapa harga yang kami harus bayar. Setiap jenis ikan ditimbang, dan dikalkulasi harganya. Eva membeli 6 jenis ikan. Berarti, kira - kira 6 kali si mas mengeluarkan iPhone-nya untuk menghitung harganya.

John Vallance melayani pembayaran dengan kartu debit. "We have to go upstairs so you can use your card in our machine", kata si mas.

Wah, ternyata yang dia maksud "upstairs" itu semacam kantor dari kios ikan John Vallance ini. Di dalam ada meja - meja, beberapa komputer, dan pegawai - pegawai berbaju ala kantoran. Mesin kartu debitnya ada di belakang ruangan, di dekat seorang ibu pegawai.

Kami pun pulang dengan Eva menenteng sekantong ikan yang isinya ada 6 jenis.
Kami mengarah ke pintu keluar dan akan naik angkutan umum. Bus atau kereta. Wait, tapi ke arah mana?.
Paket data kami berdua habis. Tidak ada internet. Dan kami terlalu malas untuk bertanya. Hahahaha

Kami lalu mengikuti insting, mengikuti papan petunjuk jalan. Setelah papan petunjuk jalan pertama, kami mendengar suara kereta. "Ah, kereta!, kita naik kereta saja!", sahutku. Tapi kami bingung juga stasiun keretanya di mana. Hiks.

Kami tetap jalan kaki, dan menemukan papan penunjuk jalan kedua. Akhirnya, ada tulisan "City Centre". Kami ikuti arahan papan tersebut dan menemukan halte bus dengan beberapa orang yang sudah menunggu. Perfect, saat itu jam 08.46, Bus No. 19 ke City Centre akan datang jam 08.49.

And here is the best part:
Pallumara Kakap Merah karya Chef Eva. 

Sunday, April 17, 2016

Edensor, Apa Istimewanya?

Tulisan ini dimuat di Kompas Travel. 
klik link berikut untuk menuju artikel asli. 

*Catatan: artikel di blog ini tidak sepenuhnya sama dengan artikel asli.
Perubahan ditandai dengan teks yang digaris bawah. 
-------------------------------------------------------------------------------
EDENSOR (dibaca Ensor) adalah judul yang digunakan penulis Andrea Hirata untuk novel ketiga dalam tetralogi Laskar Pelangi dan terbit tahun 2007 lalu. Apa yang istimewa dari Edensor yang berada di Inggris itu?

Akhirnya dalam perjalanan road trip ke Manchester dan Liverpool, saya dan beberapa kawan memutuskan untuk mampir ke Edensor. Setelah melakukan ‘pengukuran’ rute melalui aplikasi peta di ponsel, ternyata jarak Edensor tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap, di sebuah hostel di Salford, Manchester.
Sebelum ke desa Edensor, kami mampir di Ladybower Reservoir, sebuah dam yang dibangun tahun 1937 dan baru terisi penuh dan berfungsi optimal pada tahun 1945.
Perjalanan dari Salford selama satu jam hingga ke dam Ladybower ini begitu menyejukkan mata. Meski sempat ada antrean kendaraan di highway, kami sangat menikmati pemandangan. Ya, jalanan di Inggris pun bisa macet.
Sepanjang perjalanan tampak bukit-bukit, hutan pinus, dan padang rumput. Apalagi, beberapa kali, kami melambatkan laju mobil karena batas kecepatan rata-rata hanya 30 mil per jam (sekitar 48 kilometer per jam).
Sayangnya, kami tidak bisa berhenti untuk berfoto. Barulah di Ladybower Reservoir kami bisa mengabadikan indahnya alam dan suasana perdesaan di dam yang masuk dalam area Derbyshire ini.
Kami melanjutkan perjalanan ke Edensor. Variasi pemandangannya masih sama. Bukit - bukit, namun kali ini hanya sedikit jalan menanjak.
Suhu udara saat itu 10 derajat celcius. Cukup dingin, namun winter coat yang biasa kami gunakan di Glasgow sudah bisa dilepas dan diganti dengan jaket yang lebih tipis.
Sayangnya, sepanjang jalan, turun hujan. Kami khawatir, kurang bisa menikmati suasana Edensor, yang kami lihat di foto-foto, begitu cantik saat cuaca cerah.

Cukup 30 menit saja perjalanan kami tempuh dari Ladybower ke Edensor. Bayangan saya, Edensor adalah desa dengan rumah-rumah yang menyebar di sisi kanan dan kiri jalan raya.
Tetapi saya salah besar. Edensor adalah kompleks rumah di sisi kanan jalan raya. Masuk ke area Edensor tidak ubahnya masuk ke kompleks perumahan, ada pagar di luar kompleks.

Oh ya, soal Edensor, apa sih daya tariknya? Kalau menurut saya, pertama, kawasan Peak District ini pemandangannya luar biasa. Di atas bukit-bukit hijau, terkadang kita bisa jumpai domba-domba sedang memamah rumput.
Kawanan domba ini tidak diikat. Dibiarkan begitu saja, bahkan area peternakan domba juga tidak dipagari. Saya perhatikan, area peternakan dibuat lebih rendah daripada jalanan untuk menciptakan pagar alami.
Okky IrmanitaEdensor, Inggris.
Kedua, yang menarik dari Edensor adalah bentuk rumah-rumah yang sangat unik. Tidak ada warna rumah yang berbeda selain dinding berwarna krem, atap cokelat muda, dan kusen-kusen rumah dicat biru. Rumah-rumah kecil ini seakan tumbuh di atas rumput-rumput hijau dan dibelah oleh jalan setapak kecil.
Daya tarik ketiga adalah suasana tenang. Saat jam menunjukkan pukul 13.00, St Peter Church mendentangkan loncengnya, lalu setelah itu, suasana kembali hening. Karena itu, Edensor adalah kota yang sangat pas untuk membuang penat. Terutama bagi mereka yang terbiasa dengan hiruk pikuk dan kesibukan di kota-kota besar. 
Menara gereja St. Peter adalah impresi pertama saya terhadap Edensor. Gereja ini adalah bangunan tertinggi di seantero desa. Impresi lainnya, selain daya tarik Edensor yang sudah saya jelaskan di atas, adalah sulitnya mencari tempat parkir di kawasan wisata ini. Oh, tunggu kawasan wisata?
Saya membayangkan, akan banyak sekali turis yang menenteng kamera dan mondar-mondar di Edensor ini. Ternyata tidak juga. Memang, saya sulit mendapatkan tempat parkir pada awalnya. Tetapi, ini lebih karena area untuk parkir sangat terbatas.
Selama kurang lebih 1,5 jam berjalan kaki di desa ini, saya hanya beberapa kali bertemu wisatawan. Sebagian besar turis menghabiskan waktu di Edensor Tea Room, bangunan pertama yang akan kita temui setelah pintu gerbang Edensor.

Saya teringat celetukan seorang kawan yang juga pelajar Indonesia di Britania Raya, ‘Edensor itu cuma terkenal di kalangan turis Indonesia. Karena kita tahu dari novel Andrea Hirata’. Saya pribadi merasa pernyataan ini benar.
Tetapi, tidak salah jika Andrea Hirata membuat persepsi kalau Edensor ini begitu indah, dengan menceritakan bahwa tokoh Ikal di novelnya begitu mendambakan tempat seperti ini. Karena memang begitulah 

Sunday, April 10, 2016

A1 Ditutup, Kita Terancam Lewat Newcastle!

Jam menunjukkan pukul 20.22 waktu York, England. Saya menyalakan mesin mobil setelah mengeset GPS dan Google Maps di ponsel saya. Kami lalu menempuh jalur A59 menuju A1 Manchester. Rencananya kami akan singgah 2 kali. Sekali, saya lupa di mana, dan sekalinya lagi di Carlisle, checkpoint terakhir sekitar 30 miles dari Glasgow City Centre.

GPS dan sticky notes. Di sticky notes kuning tersebut saya mencatat destinasi berikut kode posnya.
Kode pos tempat - tempat tersebut tinggal diinput ke GPS.
Di dekat setir, saya juga menempelkan sticky notes yang bertuliskan nomor plat 2 mobil lain di rombongan kami.
Sesuai perkiraan Google Map, kami akan tiba sekitar jam 12 tengah malam di Glasgow. Dengan sisa - sisa tenaga yang ada dan bantuan 1 gelas latte yang saya beli di Starbucks dekat York Cathedral, kami melaju. Tiga mobil rombongan kami jalan masing - masing. 

Setelah jalur A59 kami libas dengan waktu sekitar 30 menit, kami lalu masuk ke A1. Baru 10 menit melaju, tiba - tiba ada rambu di depan, kalau jalur dialuhkan karena perbaikan jalan. Waduh, gimana ceritanya ini... 

Ada juga rambu yang bertuliskan 'Follow the X'. Kami tidak menghiraukan rambu tersebut dan tetap mengikuti arahan dari GPS di mobil. Saya meminta bantuan Mas Asra selakuu 'navigator' saya untuk membuka ponsel saya, karena sebelumnya saya sudah menyetting Google Maps untuk mengarahkan kami ke Glasgow. Duh, Google Maps juga mensugestikan jalur yang sama dengan GPS di mobil. 

Kami ternyata kembali lagi ke jalur A1 north. Lalu kesempatan kedua ini, kami mengikuti perintah untuk 'Follow the X'. Tanda X kami ikuti tapi setelah mengemudi selama kurang lebih 20 menit, kami kembali ke titik yang sama. Gawat. 

Mas Asra pun mencari alternatif lain. Lalu, kami diarahkan oleh Google Maps ke jalur A61. Dari titik terakhir ke A61, kami lewat jalan kecil. Tidak ada lampu sama sekali. Jalur ini hanya muat 2 mobil dan aspalnya pun tidak terlampau mulus. Yap, kami berhasil mendapat jalan besar yang dimaksud, A 61. Kami ikut lagi arahan Google Maps dan mencoba kembali ke lajur A1 yang belakangan kami sadari adalah jalan poros yang begitu berperan untuk transportasi dari York ke arah Skotlandia. 

Setelah ikut arahan Google Maps, kami kembali ke roundabout yang sama. Mulailah kami panik. Kang Yudi menelpon ke ponsel saya yang diangkat oleh Mas Asra sang navigator. Rombongan mereka juga ternyata bernasib sama dengan kami. Hanya rombongan Mas Osa yang berhasil menemukan jalan keluar dari 'lingkaran setan' A1. Kami pun diarahkan untuk berkumpul ke pom bensin Shell di daerah Thirsk untuk membicarakan exit plan karena roadworks di jalur A1.

'Kita bisa aja lewat Newcastle untuk sampai ke Glasgow', kata Mas Asra meniru ucapan Mas Basid, navigator di mobil Mas Osa.

OMG, sejauh itu kah perjalanan yang harus kita tempuh..... Newcastle ke Glasgow, setahu saya, ditempuh 4 jam naik bus. Fiuh...

Bercampur lelah dan panik, saya masuk ke minimarket yang memang selalu ada di tiap pom bensin di sini. Ke toilet dulu yang utama, pikirku. Meski latte ku belum habis, saya disarankan untuk beli kopi lagi. Saya akhirnya nurut, dan beli satu cup cappuccino dari mesin milik Costa di minimarket tersebut. 

Berdasarkan informasi dari mas - mas di pom bensin, kami harus jalan agak ke timur ke Darlington. Harapannya, A1 yang di Darlington sudah bisa dilalui karena pengerjaan jalan hanya di A1 York saja. Perjalanan dari Thirsk ke Darlington tidak terlalu lama, sekitar 40 menit saja. Dan ternyata benar, A1 dari Darlington sudah bisa diakses. Dengan demikian, kami 'tinggal' menempuh 173 miles atau 248 kilometer lagi untuk tiba di Glasgow. 

Mental yang terkuras dan energi yang menipis membuat saya tidak sanggup lagi memacu mobil dengan kecepatan maksimal 70 miles/hour. Bahkan, seringkali saya harus menyalakan lampu dim karena penglihatan saya sudah kabur. Sekitar satu jam dari Darlington, Navigator Mas Osa menelpon Mas Asra. Rombongan mereka ingin singgah karena Mas Osa ingin istirahat sejenak. Rombongan saya bisa tetap jalan kalau masih sanggup. Awalnya saya masih sanggup, tapi lalu saya koreksi, dan menyatakan akan ikut berhenti. 

Di sebuah pom bensin yang sudah tutup, mobil kami dan Mas Osa berhenti. Mas Osa, yang mobilnya mengikuti saya dari belakang sejak dari Darlington, menyampaikan kalau cara menyetir saya sudah tidak beres. "Kamu itu kecepatan mobilnya sudah tidak stabil. Beberapa kali saya lihat juga lampu rem menyala tidak beraturan. Kamu sering sekali mengerem", kata mas Osa. 

Saya akhirnya dikasi kesempatan untuk tidur dulu 20 menit. Saat itu, jantung saya berdebar. Adrenalin saya ada. Tapi saya luar biasa ngantuk. Setelah 20 menit memejamkan mata (dan bahkan sempat bermimpi saking nyenyaknya), saya keluar mobil dan menghampiri para navigator dan mas Osa sendiri. Mereka bertahan 20 menit ngobrol di luar mobil dengan kondisi temperatur 6 derajat. 

Setelah menyatakan siap, kami kembali memacu mobil. Ya ampun, masih lebih 100 miles lagi untuk tiba di rumah. Membayangkannya pun aku tak sanggup. Beruntung, navigator saya, Mas Asra, sangat suportif. Saya dipancing ngobrol dengan pertanyaan - pertanyaan serius. Saya ceritakan bab - bab kehidupan saya menjadi wartawan. Kami bahkan berdebat tentang karut marut Indonesia. Apa banget deh pokoknya obrolan kami malam itu. Asal saya tidak ngantuk saja katanya.
Teh Iim, istri Mas Asra, juga sangat supportif. Diberikannya padaku ring demi ring makanan ringan rasa keju yang biasa dijual di Tesco. Hmm gurihnya. Dalam kondisi normal, saya tidak akan mengunyah chiki ini. Tapi yasudahlah, yang penting tidak ngantuk, sekali lagi. 

Dari pemberhentian terakhir, saya juga belajar mengemudi yang patut di malam hari. Saya tak lagi menyalakan lampu dim untuk melihat jalan di depan. Karena tidak ada sama sekali lampu jalan, saya mengandalkan pantulan dari stiker - stiker scotlight.

Yang saya ingat, karena saya sudah sangat ngantuk dan capek, saya hanya berpatokan pada garis putih di jalanan. Saya bahkan tidak bisa lagi membedakan lajur apa yang diambil mobil - mobil truk di depan saya. Apakah mereka di lajur tengah atau lajur paling kiri. Saya hanya mampu menyetir dengan maksimum kecepatan 50 miles/hour dan sesekali di 60 miles/hour. Bandingkan saat perjalanan dari Glasgow ke Manchester saat saya masih segar - segarnya. GPS selalu membunyikan peringatan karena laju mobil lebih dari 70 miles/hour. 

Sekitar 50 mil lagi menjelang Glasgow, rombongan Mas Osa memberitahu untuk kembali berhenti. Ah, syukurlah. Namun ternyata rest area terdekat harus ditempuh dengan berbelok ke daerah lain. Karena takut salah arah, kami putuskan tidak singgah. Sampai akhirnya jelang 30 miles ke Glasgow, ada rest area. Kami memutuskan singgah dan mengisi bahan bakar. 

Saya turun dari mobil untuk menuju toilet. Orang - orang melihatku dengan prihatin. Ya ampun, berat sekali kepalaku. Jalanku pun sempoyongan seperti remaja mabuk. Saat membuka pintu minimarket pun saya sempat sedikit menabrak pernak - pernik sebesar angklung yang diletakkan di dekat pintu. Hahaha 

Pemandangan di
Checkpoint terakhir.
I felt like
going to lose
my consciousness :D
'Ayo ky, 30 miles lagi !!!', kata Mas Asra menyemangati. Aha... akhirnya 100 miles lebih yang berat itu berhasil juga terlewati. 

Saat di persimpangan, saya ternyata 'berulah'. Saya masuk ke lajur menuju Edinbrugh dan bukannya menuju lajur ke Glasgow. Hahahaha .
Untungnya di depan, ada lajur keluar dan bisa kembali ke arah Glasgow. Fiuhhhh 

Seisi mobil terharu saat melihat papan penunjuk jalan 'Glasgow City Centre'. Sedikit lagi...... 

Oh iya, mobil saya berisi Mas Asra dan istrinya Teh Iim, serta Qiel dan Bian, masing - masing berusia 4 dan 2 tahun. Ya ampun, besar sekali tanggung jawabku ini. Ini akan menjadi sejarah saat saya benar - benar memarkirkan kendaraan di Grafton, titik kumpul kami di Glasgow. 

Akhirnya, kami keluar dari highway dan masuk ke Cathedral Street, sekitar 5 menit lagi kami tiba di Grafton. Kami disambut hujan rintik - rintik. Alhamdulillah terparkir juga mobil Fiesta putih yang kami juluki mobil Koka ini. Ibarat menang rally, saya dipeluk Maya setelah keluar dari kemudi. Hahahaha.

Senyum mengembang di wajah semua orang. We made it!. 
Setelah saya hitung - hitung, selama tanggal 2 hingga 4 April 2016, saya sudah mengemudi 671 miles alias 1079 kilometer! 

Glasgow - Ashton Mosque Manchester : 221 miles 
Ashton Mosque - Albert Dock Liverpool: 41 miles 
Albert Dock - Travelodge Oldham: 41 miles 
Travelodge Oldham - Old Trafford: 9 miles
Old Trafford - Ladybower Reservoir: 38 miles 
Ladybower Reservoir - Edensor: 12 miles 
Edensor - York Minister: 81 miles 
York Minister - Darlington: 55 miles 
Darlington - Glasgow: 173 miles 

**belum termasuk muter - muter 3 kali dalam rangka 'Follow The X' di jalur A1. hehehe 

Meskipun saya mengantuk, kenapa saya tidak gantian menyetir?
Penjelasannya ada di artikel: Menyewa mobil di Britania Raya. 

Saturday, April 9, 2016

Menyewa Mobil untuk Travelling di Britania Raya

Senior - senior saya yang kuliah di Glasgow tahun 2014/15 lalu menceritakan pengalaman mereka road trip di beberapa kota di Britania Raya.
'Kok bisa?', batinku.
Maksudku, apakah memang road trip itu lebih murah, lebih aman, dan yang paling penting, bisa terlaksana, mengingat tidak semua pelajar Indonesia memiliki SIM internasional. Ternyata bisa!.

Perdana Menyetir: Ke Stirling

Road Trip pertama saya terlaksana bahkan sebulan setelah saya tiba di Glasgow, tepatnya pada 19 Oktober 2015. Ketika itu, saya mengunjungi Oban, kota pelabuhan yang terkenal dengan seafood platter-nya. Namun, saat itu, saya tidak menyetir. Barulah pada 17 Desember 2015, saya mendapat kesempatan untuk menyetir mobil ke Stirling, 30 miles atau 48 kilometer dari Glasgow atau sekitar 1 jam perjalanan.

Kami menyewa mobil dari Enterprise. Waktu ke Oban, kami sewa mobil lewat Avis. Konon Enterprise sedikit lebih murah sehingga kami putuskan untuk menyewa dari perusahan internasional yang berbasis di Missouri, Amerika Serikat. Aturan di Enterprise, dan rental mobil lainnya, si penyewa adalah si sopir. Jadilah, saya melakukan reservasi online, dan mendatangi kantor Enterrise di Oswald Street, Glasgow City Centre.

Saat itu, sewa menyewa saya dimulai jam 9 pagi. Saya tiba di Enterprise beberapa menit sebelum tepat jam 9. Sang resepsionis sudah bisa menebak nama saya. Kata mbaknya, sehari sebelumnya, dialah yang menelpon saya untuk memastikan reservasi. Apa saja dokumen yang dibutuhkan?

1. Paspor

2. British Resident Permit

3. Kartu ATM yang nomornya kita gunakan saat reservasi online. Kartu ini harus memiliki sisa saldo £200 yang akan digunakan untuk debit deposit.

4. SIM A (SIM biasa alias bukan SIM internasional juga dibolehkan)

5. Surat keterangan tempat tinggal di Britania Raya. Saat itu, saya membawa bukti tagihan Council Tax saya.

6. Surat keterangan akun bank. Di Britania Raya, bank tidak menerbitkan buku tabungan, tetapi hanya selembaran yang berisi details akun bank nasabah.

Setelah semua dokumen disetorkan, sang resepsionis akan mencetak receipt dan menawarkan beberapa asuransi. Selain asuransi kecelakaan, kita juga akan ditawari semacam side road assistance. Jadi, ketika misalnya ban kita kempes di jalan, atau mobil yang kita sewa tiba - tiba mogok, akan ada mekanik dari Enterprise yang langsung meluncur ke lokasi.

Saat itu, saya iyakan saja add - ons yang ditawarkan oleh Mbaknya dengan konsekuensi saya menambah sekitar £13. Teman - teman saya yang pernah menyewa mobil di sini umumnya tidak mengambil asuransi tersebut dengan alasan hal - hal darurat tadi less likely menimpa kita sebagai penyewa. Tapi, musibah siapa yang tahu bukan. Apalagi, saya baru pertama kali menyetir di Britania Raya. Just in case....

Setelah sepakat dengan tambahan asuransi, saya diantar ke mobil yang terpakir di basement kantor Enterprise. Waw, ini perusahaan rental niat banget. Gedung parkirnya dedicated. Di sudut gedung juga ada tempat cuci mobil untuk membersihkan mobil yang selesai disewa.

Saya lalu dikenalkan dengan mobil Vauxhall 5 - seater yang sebelumnya sudah saya reservasi. Saya juga diberi tahu di mana tangki bensin dan jenis bahan bakar yang digunakan. Selain itu, saya diingatkan untuk mengembalikan mobil dengan kondisi indikator bensin sama dengan saat mobil dipinjam. Saat itu, tangki bensinya 1 strip di bawah full.

Saya merasa sangat terbantu, karena sebelum meninggalkan gedung Enterprise, mbaknya juga menjelaskan bagaimana menyalakan mesin mobil, di mana tombol lampu, wiper, hingga AC dan heater. Apakah sewa mobil termasuk juga dengan perangkat GPS? Sayangnya tidak. Kami saat itu meminjam GPS milik PPI Greater Glasgow.

Perjalanan ke Stirling alhamdulillah berjalan lancar. Saya mengembalikan mobil pada malam hari setelah sebelumnya mengisi bensin sebesar £14 hingga indikator bensin sama seperti pagi tadi. Setelah dihitung - hitung, lebih efisien memang bepergian dengan menyewa mobil dibanding kami harus menupang bis, apalagi kereta. Dengan mobil, kami bisa juga singgah ke tempat wisata. Saat itu kami sempat ke Wallace Tower dan Stirling Castle.

Perjalanan Kedua: Tidak Perlu Asuransi

Kedua kali menyetir, saya merasakan pengalaman singgah di beberapa kota sekaligus. Tujuan pertama kami adalah ke Manchester untuk menghadiri acara KIBAR (Keluarga Islam Britania Raya). KIBAR mengadakan Spring Gathering di Ashton Mosque, Manchester.

Sabtu, 2 April 2016 jam 7 pagi, saya, Kang Yudi, Kang Herru, dan Mas Osa berjalan kaki dari Grafton Place menuju Oswald Road untuk mengambil mobil di Enterprise. Saya, Kang Yudi, dan Mas Osa didaulat menjadi sopir untuk total rombongan KIBAR Glasgow sebanyak 19 orang.

Tiba di kantor Enterprise, saya mengeluarkan dokumen yang diperlukan, minus Council Tax saya. Karena sudah pernah meminjam di Enterprise, saya hanya perlu memperlihatkan bukti akun bank, SIM, Paspor, dan ATM untuk didebit jaminan sebesar £200. Belajar dari pengalaman sebelumnya dan berkomitmen untuk menyetir dengan aman, maka kami tidak menambahkan asuransi sama sekali.

Receipt dari Enterprise. Selain mendapat print out receipt,
customer juga mendapat salinan format pdf dan dikirimkan lewat email. 
Kami menyewa mobil selama tiga hari. Mulai Sabtu pagi dan dikembalikan Selasa pagi. Alhamdulillah perjalanan, meskipun menantang, berakhir manis. Sebelum saya kembalikan mobil ke Enterprise, saya membawa pulang dulu koper saya ke kosan, lalu menyetir ke City Centre.

Mobil yang saya gunakan adalah Ford Fiesta berwarna putih. Menurut Mas Osa yang sudah mengobrol dengan staf Enterprise, mobil kami semuanya keluaran bulan Juni 2015. Mas Osa dan Kang Yudi menyewa mobil 7 - seater Hyundai Santa Fe.

Bersama Ford Fiesta,
Si Mobil Koka, tiba di Old Trafford, 4 April 2016.


Oh ya, meskipun mobil yang kami sewa aman - aman saja, masih ada potensi kami terkena tilang. Saat menyewa mobil ke Stirling seperti yang sudah saya bahas di atas, rombongan Bang Bagus cs terpaksa mengeluarkan £60 karena dikirimkan surat tilang. Menurut polisi, mereka masuk ke lajur Bus.

Terkait tilang, di Britania Raya sistemnya tidak sama dengan di Indonesia. Seharusnya sih istilahnya bukan 'tilang'. Karena 'tindakan' polisi terhadap pelanggar lalu lintas tidak langsung diproses di tempat tetapi melalui rekaman CCTV. Jika melanggar, pengemudi akan dikirimkan surat ke mailing address. Deg - degan sih. Semoga kami tidak mendapatkan surat cinta dari pak polisi ya.

[UPDATE]: Alhamdulillah seluruh kru road trip tidak mendapatkan surat tilang. Sinyal yang sangat baik untuk terlaksananya road trip selanjutnya. :)

Monday, March 28, 2016

Postgraduate Study Space

Di Main Library UofG, ada sebuah ruangan yang dedicated untuk mahasiswa pascasarjana. Namanya Postgraduate Study Space. Lokasinya di Level 5. Untuk bisa masuk ke ruangan ini, mahasiswa harus memindai ID Card mereka. Selain meja dan kursi yang lengkap dengan colokan, di ruangan ini juga ada beberapa toilet, dispenser air minum, sofa, dan 5 ruang rapat yang bisa dibooking lewat evenbrite.co.uk.

Saya pribadi jarang ke ruang ini karena beberapa alasan:

- too quite. Ruang ini termasuk silent study space. Dilarang berbincang di telepon, makan, dan mengobrol. Saya lebih memilih belajar 'di tengah keramaian' seperti di Level 3 dan Level 4 library. 
Postgraduate study space di Level 5 UofG Library.
Difoto dengan iPhone 5, 28/03/16
- no PC. Di Main Library, ada beberapa area yang memang tidak tersedia PC, termasuk di postgraduate study space ini. Umumnya, mahasiswa di sini termasuk saya, punya laptop masing-masing. Tapi, di tengah pengerjaan esai yang membutuhkan referensi buku lebih dari selusin, tidak membawa PC bisa mengurangi beban yang ditanggung oleh pundak masing-masing hahaha. 
- Tidak ada buku. Saya belajar media management. Jadi buku yang saya perlukan berkisar di tema media, politik, sosiologi, marketing, dan manajemen. Buku - buku ini umumnya ada di level 6 dan lantai 11 (khusus buku bertema media). Jadi, saat masa 'hunting buku' saya akan memilih duduk di level 6 lalu membawanya ke 'meja kerja' saya yang lengkap dengan PC-nya di level 4. 

Pada dasarnya, saya cepat bosan. Maka saya mencoba untuk menghindari rutinitas, termasuk dalam hal - hal kecil seperti "akan duduk di sebelah mana saya ketika di library". 

Yang pasti, library ini menyediakan semua opsi dan mengakomodasi gaya belajar mahasiswa. Kecuali saat musim ujian atau submission tiba. Mahasiswa disarankan untuk datang sepagi mungkin supaya bisa mendapatkan "meja" yang diinginkan. 


Latte Gratis

"The coffee is free and £1.30 for the bircher", kata ibu kasir di Library Cafe UofG. Saya mengeluarkan pecahan £5 dan menunggu kembalian. Sejurus kemudian, saya angkat sekotak bircher moesli, satu cup latte, dan kartu warna hitam seukuran ID card.
Mahasiswi yang antre di belakangku bertanya, "Why did you get that free?". Aha, masih banyak yang belum tahu rupanya. Jadi, di setiap kafe di kampus,
mahasiswa bisa meminta loyalty card.
Tiap membeli kopi atau teh jenis apapun, tinggal tunjukkan kartu ini di kasir dan mereka akan menempelkan stempel warna hijau ke kotak - kotak yang ada di kartu. Kalau sudah dapat 9 stempel, kita berhak mendapat satu gelas minuman panas, gratis.

Saya pernah menukar poin di kartu ini di Gilchrist Postgraduate Club - kafe khusus mahasiswa pascasarjana di UofG. Mbak kasir bilang ke saya "do you wanna upgrade to large cup, because it'll also free".. Wah tentu saja! Ahhaha . Rupanya, selain bebas pilih jenis minuman apapun, cup ukuran large juga bisa ditukar saat stempel di kartu ini sudah penuh.

Di foto ini adalah latte gratis saya dan kartu loyalti baru. Selamat pagi dari Glasgow. 

Saturday, March 26, 2016

Berakhir Sudah Semester 2



Kamis, 23 Maret 2016 adalah tanggal dimana perkuliahan terakhir saya sebagai mahasiswa MSc Media Management berlangsung. Bertempat di Rankine Building Room 108, Prof. Raymond Boyle mengadakan kuliah berdurasi satu jam yang membahas ulang materi yang telah kami pelajari pada mata kuliah Media and Cultural Policy.

"Some of you will meet me again on the dissertation process. Thank you, have a great easter break", ujarnya menutup kuliah hari itu. 

Ya, easter break.
Hari inj, Jumat (25/3/16) adalah libur nasional untuk seantero Britania Raya.
Merujuk kalender UK yang saya subscribe di iphone, mereka menyebut hari libur ini dengan "Good Friday". 

Pagi tadi, saya lepas landas dari flat saya di Bank Street pada pukul 07.15. Jalan di sekitar kampus, yang jaraknya hanya 5
menit dari flat saya, sungguh teramat sangat sepi. 

Begitupun suasana di Kelvingrove Park. Saya hanya ketemu sekitar 20 orang yang berbeda selama jogging 30 menit di Kelvingrove. 

Setelah cukup berkeringat, saya pulang ke flat, mandi, dan siap-siap berjuang lagi mengerjakan esai Digital Transformation di Main Library. Saya tiba di Library jam 09.47 GMT. Mak, sepi kali library ini. Library cafe yang biasanya sudah dijejali mahasiswa sekarang nampak sangat berbeda. Selain sepi kelihatannya, sepi juga pendengaran saya dari percakapan dan canda tawa yang biasanya lazim ada di library. 

PC station di Lantai 4 yang biasanya begitu "kompetitif" di mata para penghuni Library, kini menyisakan meja dan kursi yang belum di"tag" - alias available untuk siapa saja. 

Saya memilih lantai 6 kali ini. Lantai 6 ini adalah sentra buku ekonomi, sosiologi, dan sejarah. Saya merasa perlu mengecek banyak buku manajemen untuk mengerjakan Report dan Predictive Analysis yang menjadi dua tugas penentu mata kuliah Digital Transformation. 

Saat saya menulis entry ini, jam menunjukkan pukul 22.03 GMT. Biasanya jam segini masih ramai suara tombol - tombol keyboard komputer yang dimainkan oleh rekan mahasiswa. Tapi kini, sepi. Di cluster sekitar saya, tersisa satu mahasiswi Tiongkok dan satu mahasiswa bule. Di cluster lain, tersisa 3
hingga 4 orang mahasiswa saja.

Asumsi saya dan teman - teman yang tidak merayakan libur, perpustakaan jadi sangat sepi karena rekan kami yang lain sidah libur. Krik krik krik. 

Oke, saatnya lanjut mengerjakan PR. Karena eh karena, yang belum rampung tinggal kesimpulan dan daftar pustaka.

Setelah ini, kita move on ke esai berikutnya. 

Salam cinta dari Glasgow.

Monday, January 11, 2016

Sapi Highland

Awal bulan Januari ini, teman saya dari kota Brighton datang ke Glasgow. Ingin sekali dia menjumpai sapi yang disebutnya Highland cow alias sapi Highland. Sapi ini sering dijumpai di kartu pos di kota - kota di Skotlandia. Bisa dibilang, salah satu kekhasan Skotlandia adalah si sapi Highland ini. Highland sendiri adalah nama kawasan bersejarah di Skotlandia dengan pemandangan alam yang mengagumkan dan suhu yang.... lebih dingin. Yang penasaran dengan Highland klik saja link ini .

Nah, Minggu 10 Januari 2016 kemarin, saya menghabiskan minggu pagi yang hujan di Pollok Country Park (kita singkat aja jadi PCP). Taman yang sangat luas, 1 jam naik bus dari Glasgow City Center. Karena Pollok bukan satu - satunya tujuan saya hari itu, biar hemat saya beli saja tiket bus all day seharga £4.3.

Taman ini suasananya ndeso banget sih. Mungkin karena lapangan hijaunya luas sekali, banyak pohon - pohon, dan dialiri sungai. Kalau taman di dalam kota Glasgow umumnya tidak terlalu luas, banyak ornamen seperti air mancur, patung, ataupun bangku taman. 

Saking ndesonya, ada peternakan sapi dan kuda di PCP. Saya melihat bangunan yang mirip peternakan kuda. Sayangnya, kami tak berhasil melihat kudanya. Tapi kami berhasil melihat sapi dari jarak dekat. Sapi Highland ..! 

Pollok Park's Highland Cows.
Photo by me, taken with Samsung NX500
Awalnya ada kawanan sapi, jumlahnya tiga ekor. Meski hujan dan suhu -2 derajat celcius, mereka anteng saja. Seekor sapi dari kawanan itu bahkan serius menyantap makanan dari dalam ember putih.
A weird conversation between the cow and the bird.
Photo by me taken with Samsung ND500.
Berjalan lagi sekitar 50 meter, saya jumpai satu lagi sapi Highland. Kali ini warna putih. Tiba - tiba ada burung warna hitam mendekat ke sapi. Mereka sempat saling tatap beberapa detik. Ngobrol bahasa kalbu kali ya. Heheehe

Sapi Highland ini tanduknya lebih panjang. Sekilas mirip kerbau tapi bulunya panjang. Menurut Wikipedia, Sapi ini punya bulu panjang sebagai bentuk adaptasi dari temperatur Skotlandia yang dingin. Oiya, selain di Skotlandia, sapi ras ini juga diperternakkan di Norwegia dan Kanada.
Meski kelihatannya horor, ternyata daging sapi Highland sangat rendah kolesterol. Sementara, susu yang dihasilkan oleh sapi ini juga berkualitas baik dengan kadar buttermilk lebih tinggi. Oke sapi, sampai jumpa lagi.

*foto ini juga saya unggah di instagram @okkyirmanita 

Wednesday, January 6, 2016

Riverside Museum

Perkuliahan baru berlangsung 2 pekan lagi. Ke mana ya?? 
Tak harus ke luar kota, karena Glasgow sendiri belum saya jelajahi semuanya. Termasuk berkunjung ke museum - museum yang tersebar di kota ini.

Salah satu museum yang worth to visit adalah Riverside Museum. Senin siang, 4 Januari 2016, saya naik Subway 8 menit hingga ke Partick, lalu jalan kaki sekitar 15 menit dari Partick Subway Station ke Riverside Museum.

Museum ini dikenal juga sebagai Museum Transport. Koleksinya kebanyakan adalah moda transportasi jaman dulu. Mulai dari sepeda motor, mobil antik, lokomotif kereta, tram, miniatur kapal perang, hingga kapal sungguhan ada di museum ini.

Dari pintu utama, belok kiri ada kereta kuda. Di sisi kirinya, ada ruangan - ruangan yang tersedia layar monitor dengan display yang akan "bercerita" kepada pengunjung. Di ujung lorong, berjejer sepeda motor di dinding museum. Hampir semuanya sepeda motor buatan Eropa.



Kami lalu mencicipi rasanya naik Subway di jaman perang. Di dalam satu gerbong kereta bawah tanah kuno ini, kita bisa menonton film pendek. Film ini berkisah tentang area Great Western Road yang dibom oleh musuh. Menurut pengunjung bapak - bapak yang membawa handycam, kereta bawah tanah digunakan untuk berpindah sekaligus berlindung saat masa perang. Karena, moda transportasi ini tidak 'tembus' bom.


Sejauh yang saya amati, museum di Britania Raya ini selalu punya "bonus". Seperti saat saya ke Oriental Museum di Durham.. Judulnya Oriental, tapi ada pula barang dari Timur Tengah yang dikoleksi museum itu. Begitu pula di Natural History Museum London yang menyediakan aplikasi antar muka untuk melakukan simulasi penelitian DNA nyamuk malaria di laboratorium. Di Riverside Museum ini, ada juga koleksi furnitur kayu, TV tabung keluaran tahun 1952, hingga mesin jahit merek Singer. Saya jadi rindu nenek saya di kampung.


Seperti yang sudah saya singgung di atas, berbagai moda transportasi ada di museum Riverside. Di pintu belakang, ada kapal besar yang terparkir di dermaga. Sesua namanya, museum ini letaknya di pinggir Sungai Clyde. Walhasil, Tall Ship dengan nama Glenlee bisa sandar di samping museum. Di dek paling bawah kapal, ada kafe yang memanjakan pengunjung museum yang sebagian besar adalah keluarga. Di dek sebelah atas, foto - foto cantik bisa tercipta.
Saya juga ingin difoto di atas Glenlee. Hehe
Difoto oleh Fauzia Izzati
Sebelum pulang, jangan lupa rasakan empuknya duduk di sofa hijau raksasa. Sofa ini ada dua buah, dan terletak di pintu masuk utama museum. Sebenarnya, sofa ini terbuat dari balok - balok kayu. Namun, permukaannya ditutupi oleh rumput sintetis sehingga terlihat cantik. 


Sofa hijau raksasa di pintu masuk utama Riverside Museum.