Saturday, October 29, 2016

Model Belajar di Kampus UK - Sulitkah?

Sering saya ditanya.
Susah tidak belajar di UK?
Bisa ngikutin gak pelajaran di sana?
Ngerti gak dosennya bilang apa?

Pertanyaan berbau kekhawatiran seperti di atas, juga menjadi pertanyaan saya sejak pertengahan tahun 2015, saat mengawali proses aplikasi ke beberapa kampus di Britania Raya. 

Setibanya di Glasgow, saya bertanya kepada kak Yangie, mahasiswa UofG angkatan 2015. Kak Yangie menjawab dengan bahasa yang membangkitkan kepercayaan diri saya,

"Mahasiswa Indonesia itu bisa bersaing kok Ky, tenang aja. Dosen - dosen juga mengakui kalau mahasiswa kita tuh bagus - bagus. Pasti ada adaptasi. Tapi yakin deh, kamu bisa kompetitif".

Setelah menjalani 12 bulan studi, perkataan Kak Yangie seluruhnya benar. 

------


Saya mengidentifikasi ciri kehidupan akademik di kampus UK dalam sebuah artikel yang waktu itu kami susun sebagai buku panduan kehidupan pelajar Indonesia di Glasgow, bersama dengan kawan - kawan di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Greater Glasgow.

Berikut artikelnya:

---------
Ada dua hal yang penulis garis bawahi terkait ciri kehidupan akademik di Glasgow. Hal ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis serta persepsi yang penulis serap dari penuturan sesama pelajar Indonesia yang menempuh studi di Glasgow. Tantangan utama dalam kehidupan akademik secara garis besar terbagi dua. Pertama menciptakan karya yang orisinil yang jauh dari plagiarisme dan kedua memenuhi standard peniliaian yang objektif. 

1. Orisinalitas adalah Segalanya 

Sejak masa orientasi, pihak kampus selalu menekankan untuk menjauhi plagiarisme. Well, sepintas tak ada bedanya saat Masa Orientasi Siswa (MOS) di program S1 di Indonesia. Tapi, imbauan menjauhi plagiarisme ini begitu giat. Sampai akhirnya dosen penulis memberi pekerjaan rumah untuk mengikuti tes anti-plagiarisme secara online. Astaga, sulit sekali menjawab dengan benar 80 persen pertanyaan di tes tersebut. Untungnya, kita bisa mengulang berkali - kali sampai mendapatkan sertifikat. 

Tes anti - plagiarisme tadi menguji kepekaan kita dalam memberikan judgement apakah sebuah paragraf dikategorikan plagiat atau tidak serta masuk jenis plagiarisme apa paragraf tersebut. 

Kami juga dikenalkan dengan perangkat lunak yang bisa mendeteksi plagiarisme. File tulisan diunggah dan dipindai. Sekitar 1 jam kemudian, akan ada email yang berisi score kemiripan tulisan kita dengan tulisan yang sudah pernah dipublikasikan. Bahkan, perangkat lunak ini bisa memberi highlight kalimat mana yang tingkat kemiripannya sangat tinggi. Toleransi kemiripan adalah 20 persen. Selebihnya, tulisan kita akan dikategorikan plagiat. 

Karena aturan yang  ketat inilah, banyak upaya ekstra yang harus dilakukan oleh mahasiswa. Antara lain: membaca lebih teliti; mencatat seintens mungkin; serta mengelola catatan serapi mungkin. Tak hanya itu, kepekaan dan intuisi juga diuji. Kedua hal ini perlu, misalnya saat mesin pencari ‘meminta’ kata kunci namun kita lupa apa terminologi yang pas untuk mencari apa yang hendak kita cari. 

Sayangnya, upaya ekstra ini tidak punya jalan pintas. Mahasiswa tidak boleh alergi membaca buku atau jurnal. Kedua bahan bacaan ini pun tidak sekadar dibaca sambil lalu tapi harus dibaca intensif. Beberapa dosen menyarankan untuk membaca sambil mencatat. Dan ya, cara ini lebih efektif untuk menghadapi rutinitas esai dan juga saat ujian tiba. 

Penulis menggunakan aplikasi online refme untuk mencatat referensi sekaligus quotes penting yang ditemui selama proses reading. Selain itu, catatan manual juga penulis kumpulkan secara tematik. Menurut penelitian, seseorang cenderung mudah mengingat jika apa yang dia baca jika proses membaca dilakukan sambil menulis. 

Catatan terakhir terkait orisinalitas adalah kewajiban bagi mahasiswa untuk mengakui hasil karya orang lain. Kalau ditarik benang merahnya, boleh dikata, konsekuensi dari orisinalitas adalah pengakuan terhadap karya orang lain. Inilah hakikat dari anti - plagiarisme. Para pengajar di sini sangat menekankan pentingnya meng - acknowledge riset yang sudah dilakukan ataupun teori yang pernah dikemukakan oleh orang lain. 

2. Penilaian Objektif 
Kriteria pemberian nilai atau assessment bersifat transparan. Mahasiswa memiliki akses terhadap kriteria penilaian dan sejauh mana pencapaian dari mahasiswa berdasarkan kriteria itu. 

Saat nilai sudah diumumkan, seringkali dosen memperlihatkan tabel persebaran nilai mahasiswa. Lewat tabel ini tergambar pendapaian mahasiswa dan nilai rata - rata kelas serta feedback dari sang dosen. 

Demi menjaga objektivitas pula, umumnya mahasiswa tidak menulis identitas jelas dalam lembar jawaban ujian maupun sampul dan nama file dari tugas esai, tapi hanya menuliskan kode nomor induk. Pada beberapa kasus, identitas mahasiswa diidentifikasi dari barcode. Dengan demikian, identitas mahasiswa dapat tersamarkan dari pemeriksa ujian ataupun esai. 

Objektivitas pemberian nilai dipertanggungjawabkan oleh dosen di hadapan examination board. Kalau mahasiswa keberatan dengan nilai yang diterima, laporannya dapat dikirimkan ke examination board ini. Di akhir semester, mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk melakukan resit terhadap mata kuliah yang nilainya di bawah standard atau fail. 

Setiap dosen juga tidak lepas dari quality control dari pihak universitas. Mahasiswa selalu diminta memberikan feedback melalui kuisioner di penghujung kelas. Lewat medium ini, mahasiswa bisa mengeluarkan unek - uneknya, termasuk memberikan ide untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar. 

-----

Model assessment yang ketat seperti saya uraikan di atas mendorong mahasiswa untuk lebih serius belajar. Saat S1, saya hanya belajar di malam jelang ujian. Seringkali bahkan tidak belajar sama sekali karena sudah percaya diri dengan apa yang saya ketahui terkait materi yang akan diujiankan.

Model sistem kejar semalam ini tidak bisa diterapkan saat belajar di UK. Membaca harus lebih sering. Diskusi juga harus dilakukan. Tidak jarang, saat proses brainstorming sebelum menyusun esai, saya berdiskusi dengan rekan lain yang jurusannya berbeda. Saat esai sudah tahap finalisasi, saya kembali berdiskusi untuk mengetahui apakah jalan berpikir saya terhadap suatu topik sudah makes sense atau belum.

Saat exam week, perpustakaan penuh. Dedek - dedek S1 bergerombol dan melantai, membaca, meringkas catatan, dan berdiskusi. Exam vibes begitu terasa di perpustakaan. 

Kenapa harus serius mengerjakan esai dan menghadapi ujian?
Karena penilaian objektif sebagaimana saya uraikan di atas.

Bagi saya, masa 3 bulan begitu cepat berlalu dan saya lalui dengan kerja keras untuk adaptasi. Bahasa Inggris saya tidak bagus - bagus amat. IELTS saya pas sekali dengan skor yang dipersyaratkan.

Lepas 2 bulan, saya baru paham. Agar lebih luwes catch up dengan ceramah dosen, saya harus membaca sebelum masuk kelas. Harus.

Saat saya terapkan, hasilnya signifikan. 
Saya mengerti apa yang dosen deskripsikan. Saya paham konteks contoh - contoh yang diberikan. Saya punya beberapa pertanyaan untuk dikritisi berdasarkan pandangan - pandangan dari penulis dan praktisi - hasil bacaan saya sebelum kuliah mulai. 

------
Setelah masa adaptasi, apa yang dikatakan Kak Yangie seperti di awal tulisan ini, benar - benar saya buktikan sendiri.

Belajar di universitas dengan reputasi tinggi - dengan sejarah teaching excellence ratusan tahun - memang sulit dan menantang. Tapi, bisa dijalani dan ditaklukkan. 


Penulis: Okky Irmanita
MSc Media Management University of Glasgow - 2015



No comments: