Saturday, April 2, 2011

Eksistensi Hak Nelayan Tradisional di Indonesia

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Fakta geografis menunjukkan bahwa Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang mencakup 17.508 pulau (citra satelit terakhir menunjukkan 18.108 pulau). 6.000 buah di antaranya berpenduduk. Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08′ LU hingga 11°15′ LS, dan dari 94°45′ BT hingga 141°05′ BT, terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua: Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia.

Luas total wilayah Indonesia yang 7,9 juta km2 terdiri dari 1,8 juta km2 daratan, 3,2 juta km2 laut teritorial dan 2,9 juta km2 perairan ZEE. Wilayah perairan 6,1 juta km2 tersebut adalah 77% dari seluruh luas Indonesia. Dengan kata lain, luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya. Indonesia adalah negara berpenduduk terbanyak keempat (234.893.453 orang—estimasi Juli 2003). Nyaris seluruhnya (95,9%) berdiam di kawasan yang berada dalam jarak 100 km dari garis pantai. Pantai Indonesia yang terentang sepanjang 95.180.8 km adalah terpanjang kelima di dunia (setelah Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia).

Begitu pentingnya peranan pantai atau pesisir dalam menopang kehidupan penduduk di Indonesia. Profesi yang paling banyak ditemui di pesisir tersebut tidak lain adalah nelayan. Nelayan atau biasa pula disebut petani ikan, sangat menggantungkan kehidupannya terhadap laut dan sekitarnya. Apa daya, beberapa data malah menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan Indonesia masuk kategori miskin. Jika 95% penduduk Indonesia berdiam di pesisir, maka nelayan bisa dikatakan adalah sumbangsih terbesar bagi angka kemiskinan di Indonesia.

Laut yang luas, isi laut yang melimpah, peluang ekspor yang terbuka, tampaknya tidak dapat mengangkat harkat kehidupan para nelayan. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa ada yang salah dalam tatanan kehidupan nelayan. Mungkin saja ada monopoli terhadap sumber daya laut. Mungkin juga keterbatasan nelayan untuk memanfaatkan potensi secara maksimal. Ataukah kesalahan tersebut berasal dari nelayan sendiri yang menggunakan alat tangkap yang membahayakan keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di laut.

Banyak pakar yang menyebutkan faktor utama kemiskinan dan keterpurukan hidup nelayan Indonesia adalah karena minimnya akses yang diberikan untuk nelayan tradisional. Eksistensi nelayan ini terancam karena regulasi yang lebih berpihak pada pemodal besar. Didukung oleh birokrasi yang buruk yang mudah disuap sehingga memuluskan langkah para pemodal untuk “menghabisi” sumber daya alam laut dengan alat yang lebih canggih sehingga mengambil isi laut dalam jumlah yang masif.

Rumusan Masalah

Pemaparan di latar belakang penulisan sudah sempat membahas mengenai beberapa kemungkinan – kemungkinan yang menyebabkan tidak eksisnya nelayan tradisional. Oleh karena itu, penulis mengambil fokus rumusan masalah yakni;

Bagaimanakan eksistensi nelayan tradisional di Indonesia?

Pembahasan

Kondisi nelayan Indonesia yang miskin sebenarnya telah berusaha dihindari oleh pemerintah melalui regulasi – regulasi berupa undang – undang. Namun demikian, terdapat berbagai macam hambatan yang membuat penerapan regulasi ini masih belum maksimal. Karakter masyarakat, tingkat pendidikan, dan penegakan undang – undang mengambil peranan penting untuk keberhasilan penerapan suatu regulasi.

Peraturan Tertulis di Pesisir

Indonesia memiliki banyak peraturan tertulis untuk mengatur kehidupan di pesisir, namun penulis hanya akan mengambil ordonansi dan peraturan mengenai HP – 3. Kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi lautan dan garis pantai yang luas membuat penjajah, yakni Belanda membuat peraturan berupa ordonansi – ordonansi yang tercantum dalam Staatsblad. Ordonansi tersebut bahkan sangat spesifik, mulai dari pengaturan penangkapan ikan, hingga kerang mutiara. Selengkapnya, ordonansi tersebut adalah sebagai berikut;

· Ordonansi Perikanan mutiara dan bunga karang (1916)

Mengatur pengusahaan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang di perairan pantai dalam jarak tidak lebih dari 3 mil laut.

· Ordonansi perikanan untuk melindungi ikan (1920)

Mengatur larangan penangkapan ikan dengan menggunakan racun bius atau bahan peledak, kecuali untuk keperluan ilmu pengetahuan.

· Ordonansi penangkapan ikan pantai (1927)

Mengatur usaha perikanan di wilayah perairan Indonesia. Yang berhak melakukan usaha perikanan adalah warga negara Indonesia dengan menggunakan kendaraan air berbendera Indonesia. Bagi yang bukan warga negara Indonesia harus dengan izin Menteri Pertanian. Bagi warga negara Indonesia yang menggunakan tenaga asing harus dengan izin Menteri Pertanian

· Ordonansi perburuan ikan paus (1927)

Mengatur perburuan dan perlindungan ikan paus (semua jenis paus dilindungi dengan SK Menteri Pertanian no.716/1980, kecuali usaha penangkapan paus oleh nelayan tradisional setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Ordonansi di atas boleh dikatakan sebagai patokan untuk peraturan nasional Indonesia. Karena sifatnya yang lengkap dan berwawasan lingkungan, beberapa ordonansi telah diadaptasi ke dalam peraturan nasional Indonesia. Secara umum pula, pengaturan mengenai pesisir dan pulau – pulau kecil bisa ditemukan di Undang – undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. Undang – undang ini mengatur mengenai Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP – 3). HP – 3 ini antara lain dapat diberikan kepada;

· Orang perorangan Warga Negara Indonesia (WNI)

· Badan Hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia

· Masyarakat adat

HP – 3 ini diberikan untuk jangka waktu selama 20 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun untuk tahap pertama serta dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku. Jangka waktu penguasaan inilah yang menuai kontroversi. Tidak disebutkan dalam ketentuan di atas bahwa perpanjangan jangka waktu menggunakan mekanisme apa. Karena akan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam yang berada di pesisir. Selain itu, bisa saja yang menggunakan HP – 3 memang benar adalah seorang WNI, namun WNI tersebut hanya digunakan sebagai alat untuk kepentingan investor asing yang ingin mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Padahal dalam Pasal 61 undang – undang yang sama telah disebutkan bahwa “pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak – hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun – temurun. Dipertegas lagi pada ayat (2) pasal yang sama bahwa, “Pengakuan hak – hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil yang berkelanjutan”.

Penegasan mengenai pengakuan hak masyarakat adat dan kearifan lokal semakin bertentangan dengan pengaturan HP – 3, karena dalam persyaratan pihak yang bisa mengemban HP – 3 juga adalah masyarakat adat. Masalahnya, apakah masyarakat adat ini harus pula memenuhi persyaratan administratif untuk diberikan HP – 3. Atau lebih jauh lagi, jika ada pertentangan antara pihak ketiga dengan masyarakat lokal mengenai Hp – 3, pihak mana yang akan dimenangkan dalam sengketa ini, dalam hal masyarakat lokal ternyata tidak memiliki Hak Penguasaan Pesisir dan Pulau – pulau Kecil (HP – 3).

Nelayan Tradisional

menurut Hasyim Djalal, dalam menetapakan kategori “ hak perikanan tradisional” harus diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut :

· Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisionjal telah menangkap ikan disuatu perairan tertentu,

· Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat tertentu,

· Hasil tangkap mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu,

· Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan penagkapan ikan didaerah tersebut.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara internasional hak-hak nelayan tradisional yang dalam hal ini adalah masyarakat nelayan telah dilindungi hak-haknya. Sehingga hanya diperlukan eksitensi dari regulasi internasional ini dalam melindungi pengelolaan berbasis masyarakat.

Ancaman – ancaman Eksistensi Nelayan Tradisional

Era Orde Baru yang dipimpin oleh Mantan Presiden Soeharto memiliki visi untuk membangun perekonomian. Prinsipnya adalah membuka peluang investasi seluas – luasnya, membangun fasilitas insentif yang memanjakan investor, pembentukan iklim investasi, dan lain sebagainya. Harapannya, setelah investor besar banyak yang masuk ke Indonesia, “tetesan” uang dari kalangan atas akan mengalir ke rakyat kecil, dan pada akhirnya dapat membantu mencapai cita – cita Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state).

Harapan pemimpin Indonesia saat itu ternyata tidak bisa diwujudkan. Pasalnya, investor besar yang mengeruk keuntungan di Indonesia membawa keluat uangnya ke luar negeri dan menanamkan investasi lain di sana. Alhasil, uang tidak berputar di dalam wilayah Indonesia. Lapisan masyarakat kelas menengah dan kelas bawah belum sempat menikmati “tetesan” uang hasil untung dari investor kelas kakap.

Keterpurukan karena perputaran uang yang gagal terjadi di Indonesia ditambah lagi dengan sikap korup dari pemerintah. Kebiasaan pemerintah menerima gratifikasi dari para pemodal berdampak pada ketidakprofesionalan aparatur pemerintahan. Alih – alih melirik pembangunan yang bersifat bottom up, Indonesia juga kehilangan “cipratan” keuntungan yang dibawa oleh investor besar. Krisis ekonomi lantas menimpa Indonesia, disusul krisis politik dan krisis sosial yang berujung pada kudeta terhadap pemimpin Orde Baru yang telah memimpin selama 22 tahun.

Nelayan adalah salah satu elemen masyarakat yang hingga kini belum dapat bangkit akibat krisis multidimensional tersebut. Nelayan termasuk salah satu golongan yang masuk ke dalam lingkaran setan kemiskinan. Sebagian besar nelayan tradisional tidak memiliki pendidikan yang tinggi, tidak memiliki modal yang besar, dan tidak berketerampilan tinggi. Faktor – faktor ini saling memengaruhi sehingga nelayan sulit bangkit dari kemiskinan.

Ancaman persaingan dari pemodal besar juga menjadi faktor penghambat eksistensi nelayan. Pemodal besar bukan berarti tidak boleh memanfaatkan potensi pesisir. Bahkan potensi ini harus digali secara maksimal. Tetapi, harus ada batasan bagi pemodal agar hak masyarakat adat atau nelayan untuk memanfaatkan potensi pesisir tetap terlindungi. Eksistensi nelayan tradisional harus diperjuangkan karena jumlah nelayan tradisional ini lebih banyak.

Ketika nelayan tradisional dapat diakomodir untuk menggerakkan perekonomian, itu berarti salah satu “pekerjaan rumah” bangsa Indonesia telah berhasil teratasi. Hal ini juga dapat menginspirasi sector lain untuk bangkit dan menyusun kembali strategi pembangunan secara perlahan. Butuh komitmen dari seluruh stakeholder untuk membangun sector perikanan yang melibatkan nelayan tradisional.

Kesimpulan

Eksistensi nalayan banyak dihambat oleh berbagai faktor. Faktor ini berasal dari luar nelayan dan dari dalam diri nelayan itu sendiri. Faktor luar banyak dikritik oleh berbagai pakar, antara lain regulasi pemerintah yang lebih memihak kepada pemodal besar. Pemodal besar ini tidak salah jika dilindungi, tetapi hak nelayan tradisional juga tidak boleh dilanggar. Jika nelayan tradisional didukung eksistensinya, maka kemiskinan penduduk pesisir dapat lebih diminimalisasi.

Referensi

Andi Kurniawati. Eksistensi Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan (HPPI) melalui Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Berbasis Masyarakat. 2011. www.andikurniawati90.blogspot.com. Diakses pada tanggal 29 Maret 2011 Pukul 13.40 WITA

A.P. Edi Atmaja. Sengkarut Nelayan dan Hak Perikanan Tradisional Mereka dalam Negara Kepulauan. 2011. www. sastrakelabu.wordpress.com. Diakses pada tanggal 29 Maret 2011 Pukul 12.47 WITA.

Jantje Cjiptabudi, 2009. “Perimbangan Pengaturan Kewenangan Pesisir”. Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Boedi Harsono, 2005. “Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan, Isi, dan Pelaksanaannya). Djambatan: Jakarta

No comments: