Saturday, April 2, 2011

Perbedaan Pasal 570 BW dengan Pasal 20 UUPA

Analisis isi Pasal 570 Kitab Undang – undang Hukum Perdata (KUHPer) dengan Pasal 20 dalam Ketentuan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA)

Pasal 520 KUHPer atau BW (Burgerlijk Wetboek) menyebutkan bahwa;

Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang – undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak – hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang –undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

Sedangkan isi Pasal 20 UUPA adalah sebagai berikut;

(1) Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.

(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Secara sekilas, tampak isi Pasal 20 lebih singkat dibanding Pasal 520 BW. Namun demikian, dalam ayat (1) Pasal 20 UUPA, dicantumkan bahwa hak milik harus memerhatikan ketentuan pasal 6 dalam UUPA. Adapun isi pasal 6 tersebut, adalah;

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Dalam memori penjelasan mengenai rancangan UUPA, dijelaskan lebih lanjut mengenai fungsi sosial tersebut;

"Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial".

Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).

Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan pihak yang secara ekonomis tergolong lemah.

Guna memudahkan untuk menganilisis pasal, penulis menarik unsur yang terkandung di dalam pasal 570 BW dengan alasan bahwa BW adalah peraturan yang lebih dahulu diterapkan sebelum UUPA. BW diberlakukan sejak penjajahan Belanda. Indonesia sendiri merdeka pada tahun 1945 dan UUPA baru lahir pada tahun 1960. Asumsinya, UUPA adalah penyempurnaan dari Burgerlijk Wetboek (BW). Unsur tersebut antara lain;

· Hak untuk menggunakan benda dengan leluasa, berbuat bebas secara penuh, asal tidak menyalahi ketentuan yang berlaku

· Tidak mengganggu hak orang lain

· Pencabutan hak dapat dilakukan jika melanggar peraturan, dan melanggar ketentuan umum

· Dapat dilakukan ganti rugi

1. Hak untuk Menggunakan Benda dengan Leluasa, Asal Tidak Menyalahi Peraturan

Pasal 570 BW mengisyaratkan bahwa semua yang memegang hak milik berhak melakukan apapun di atas alas hak tersebut, kecuali ditentukan lain oleh peraturan yang sah. Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria termasuk kategori peraturan yang dalam hal ini, disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960.

Klausa “leluasa, asal tidak melanggar aturan” juga ditemukan di Pasal 20 UUPA. Hal ini tidak tercantum secara eksplisit, karena bunyi pasal tersebut mengharuskan kita melihat lagi aturan Pasal 6 yang mengatur mengenai fungsi sosial tanah. Telah disebutkan di atas bahwa memori penjelasan rancangan UUPA secara panjang lebar menguraikan mengenai fungsi sosial tanah agar pemegang hak milik tetap menghormati hak orang lain, dan tetap memperhatikan kondisi sosial masyarakat agar terjadi pemerataan kesejahteraan.

Pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai pengertian agraria dalam arti luas, harus mengutamakan kepentingan bersama. Bagaimanapun juga, kemerdekaan, sumber daya alam dan potensi yang ada di Indonesia adalah milik seluruh bangsa Indonesia pula. Seluruh elemen akan saling bersinergi dengan baik jika fungsi sosial tanah ini ditaati dengan sepenuhnya.

2. Tidak Mengganggu Hak Orang Lain

Klausa ini hampir mirip dengan klausa pertama dan merupakan kelanjutan dari klausa pertama yang isinya “….. asal tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku”. Substansinya juga menyiratkan bahwa di atas hak kita terdapat hak orang lain. Mirip dengan fungsi sosial dari tanah yang tersirat dalam Pasal 20. Tetapi, tetap saja terdapat perbedaan. Penulis menganalogikan kepentingan umum yang diganggu oleh suatu hak milik. Misalnya saja, jalan akses menuju masjid sebagai fasilitas sosial terganggu karena pagar seorang pemilik lahan menghalangi jalur masuk ke masjid, terutama jika dilaksanakan ibadah solat jumat dan ibadah di hari raya yang membuat kepadatan di jalur masuk masjid tersebut.

3. Pencabutan Hak Dapat Dilakukan Jika Melanggar Peraturan, Dan Melanggar Ketentuan Umum

Persoalan pencabutan hak milik yang disebut di UUPA tidak ditemukan di Pasal 20. Ayat (2) Pasal 20 UUPA hanya menyebutkan “hak milik dapat beralih dan dapat dialihkan…”. Pencabutan hak tercantum di UUPA, tetapi bukan di pasal 20, melainkan di pasal 18.

4. Dapat Dilakukan Ganti Rugi

Ganti rugi yang dimaksud adalah ketika suatu hak milik beralih ke pihak lain dengan kondisi bukan karena warisan. Karena, jika suatu tanah hak milik diwariskan, maka tidak ada ganti kerugian. Kematian adalah syarat mutlak pengalihak hak milik secara waris, dan pemegang waris tidak diberi ganti rugi. Ganti rugi dapat diberikan dalam hal peralihan hak karena suatu tanah digunakan untuk pelebaran jalan, pembangunan fasilitas negara berupa gedung, dan lain sebagainya.

Pasal 20 UUPA tidak memuat ketentuan mengenai ganti kerugian. Ketentuan tersebut terdapat di pasal 17 dan pasal 18.

Kesimpulan

Melihat dari konteks pengaturan mengenai hak milik, secara umum UUPA telah memenuhi harapan sebagai penyempurna undang – undang atau peraturan yang lama, khususnya Kitab Undang – Undang Hukum Perdata / BW. Salah satu ciri khasnya adalah spesifikasi mengenai fungsi sosial tanah yang ada dalam UUPA. Pasal 570 BW mengulas mengenai hak milik. Tidak semua unsur yang ada dalam pasal 570 yang terdapat di Pasal 20 UUPA yang memang secara khusus membahas mengenai hak milik. Namun demikian, UUPA “mengeluarkan” ketentuan pasal 570 BW ke dalam pasal – pasal lainnya.

Referensi:

------, “Kitab Undang – Undang Hukum Perdata”. 2008. Jakarta: Pustaka Yustisia

------, “Memori Penjelasan atas Rancangan Undang – Undang Pokok Agraria”

------, Hukum Tanah Sebelum UUPA”. 2010. http://kab-tasikmalaya.bpn.go.id . Diakses pada Tanggal 29 Maret 2011, pukul 11.23 WITA.

No comments: