Wednesday, April 8, 2015

Soal Paspampres

Pasukan pengamanan presiden. Sebelum jadi wartawan, mungkin persepsi saya soal paspamres sama dengan kebanyakan orang. Tinggi, tegap, tegas, dan jago tembak. Paspampres memang orang - orang terpilih di TNI yang ditugaskan mengawal Presiden dan Wakil Presiden.

Setelah jadi wartawan, persepsi saya terhadap paspampres belum berubah. Malah bertambah. Satu ciri lagi: pelit. 
Saya sadar, pelitnya paspamres ini tak lepas dari tugas beratnya yakni menjaga simbol negara. Tapi, saya tetap tertarik membahasnya. 

Ya, paspampres pelit memberi kami kesempatan melewati metal detector tanpa ada ID card yang menggantung di dada. Bahkan, untuk peliputan di Istana presiden maupun wapres, butuh ID khusus. Pelitnya paspampres jauh melebihi pelitnya guru BP. Kostum juga jadi perhatian. Wartawan yang meliput di Istana harus berkemeja, celana kain, dan mengenakan sepatu bukan kets.

Bagi wartawan TV, paspampres tidak akan mengajukan pertanyaan "dari media mana?". Pasalnya, wartawan TV untuk liputan sehari - hari, hampir seluruhnya sudah menggunakan seragam yang berlogo. Tapi, untuk wartawan media cetak, radio, maupun online, paspampres pasti menanyakan. Di kantor wapres, paspampres bahkan mencacat nama pewarta yang meliput, saat masuk di pos pemeriksaan pertama.

Begitu Berharganya ID Istana

Beberapa waktu setelah Presiden Jokowi dilantik, ada informasi dari biro pers istana, bahwa wartawan yang tidak punya ID istana tidak boleh sama sekali meliput di lingkungan istana. Di saat yang sama, saya sedang sering - seringnya "diperbantukan" untuk peliputan istana. Saat itu, banyak sekali berita dari lingkungan istana. Semisal pembentukan kabinet, pembentukan wantimpres, dan beberapa kebijakan popok untuk pemerintahan baru. 

Untuk masuk ke istana, saya menggunakan ID Visitor. Mencatat nama dan nomor ponsel, lalu menukarkan ID Pers adalah mekanisme untuk mendapat ID Visitor. Awalnya, seluruh area istana membolehkan ID Visitor ini. Termasuk, di area kantor presiden tempat presiden biasa melakukan rapat.

Aturan semakin ketat. ID Visitor hanya berlaku di ruang wartawan, atau yang biasa disebut bioskop istana. Jadilah saya hanya memantau berita dari kejauhan. 1 tim liputan - rekan saya yang punya ID istana - yang mengamankan berita. Informasi dan rekaman saya telaah, lalu bersiap untuk live report. 

Waktu berlalu. Kabinet sudah mulai bekerja. ID pers istana yang terbaru pun sudah jadi dan dibagikan. Masa yang ditakutkanpun tiba. Saya tidak bisa lagi masuk, bahkan hanya ke bioskop. 

Tiap tahun biro pers istana membuka pendaftaran kepada perusahaan media, yang berminat memposting wartawan untuk meliput presiden. 1 media memiliki kuota berbeda - beda. Untuk TV diberi kuota 4 reporter dan 4 kameramen. Sementara untuk tahun 2015 ini, saya didaftarkan untuk menjadi peliput di Istana Wakil Presiden. 

ID Wapres 
Saat itu, saya sedang meliput kegiatan Presiden Jokowi di Pekanbaru. Karena tidak mendapat undangan resmi dari biro pers, saya berangkat terpisah dengan rombongan wartawan kepresidenan. 

Malamnya, kameramen saya ditelpon untuk melengkapi beberapa berkas untuk keperluan pendaftaran ID Wapres. 2 hari lagi adalah deadline pemasukan formulir dan dokumen. 

Sama dengan pengurusan ID istana. ID wapres juga memerlukan beberapa dokumen. Semisal formulir pendaftaran, pas foto 4x6, dan surat tugas yang ditandatangani pemimpin redaksi. 

Bangga nian rasanya ketika ID Wapres sudah jadi. Setidaknya mulai berkurang "kecurigaan" paspampres saat kami berseliweran di Istana maupun kantor wapres. Tapi gengsi ini sedikit turun saat melihat pemegang ID wartawan kepresidenan juga bisa mengakses istana maupun kantor wapres.

Jadi, wartawan RI - 1 punya akses ke markas presiden dan wakil presiden. Sementara wartawan RI - 2 hanya punya akses ke markas presiden dan wapres. 

Terlepas dari sedikit ketidakadilan itu, banyak hal yang harus saya syukuri di penugasan baru di tahun 2015 ini. Sehari - hari saya bisa berdiri dekat dengan pemimpin negeri ini. Kebijakan - kebijakan yang mempengaruhi orang banyak bisa saya ketahui dan saksikan langsung. 

Plus, saya bisa menambahkan 1 ciri lagi dari paspamres: manusia biasa. 
Melihat paspampres dari sisi humanis adalah bonus dari pekerjaan saya. 

Suatu waktu, kami menggelar parabola di mobil satelit untuk membawakan siaran langsung. Saat itu, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dipanggil oleh Wapres Jusuf Kalla terkait kisruh APBD DKI Jakarta. Siaran langsung di program berita petang berlangsung sukses. Hari pun bergerak malam. Wapres, para staf disusul Wartawan mulai meninggalkan Kantor Wapres. 

Saat saya bersiap pulang, ternyata masih ada yang belum tuntas. Kabel serat optik dari mobil satelit tidak berhasil ditarik. Pintu depan kantor wapres sudah terlanjur dikunci oleh petugas sipil. Dan sang petugas sudah pulang.
Namun masih ada harapan. Menurut paspampres, masih ada petugas pengamanan internal (sipil) yang biasa memegang kunci - kunci ruangan. 

Berkelilinglah kami mencari si pemegang kunci. Beberapa anggota paspampres - yang sudah tidak berseragam- datang membantu.

Area kantor wapres yang cukup luas cukup membuat nafas tersengal. Akhirnya kami menemukan di mana kunci disimpan. Salah satu anggota paspampres mengambil kunci tersebut di sebuah ruangan. Alamak, ternyata kunci yang dimaksud, sudah tercampur dengan puluhan kunci lainnya. Tapi, dengan sabar, 2 orang anggota paspampres mencoba kunci. Anggota yang lain ikut membantu. Beberapa saat kemudian, akhirnya kunci ditemukan. Kabel kami bisa digulung, dan tim bisa kembali ke kantor. Hari itu, kami jadi "tamu" terakhir di kantor wapres.  Terimakasih mas mas paspampres. 


** keterangan foto:
1. Sore hari, Polisi Militer melakukan upacara penurunan bendera di halaman istana wakil presiden, jln Kebon Sirih, Jakarta. 
2. Paspampres mencari kunci yang tepat untuk "meloloskan" kabel kami. 

No comments: