Bukan tak mencoba, saya ingat, saya pernah melamar untuk mendapatkan beasiswa dari AUSAID. Namun, saya sendiri tak yakin bisa diterima beasiswa itu. Jelang 1 hari penutupan penerimaan berkas, baru kukirimkan berkas itu. Lebih tak yakin lagi, karena esai yang saya buat saat itu, tidak pernah dievaluasi ahlinya atau istilah lainnya adalah proofreading.
Tak berhasil dapat beasiswa saat kuliah, saya mencoba mencicipi peluang fellowship saat sudah bekerja sebagai jurnalis. Lagi – lagi, saya sendiri tidak percaya diri dengan aplikasi saya saat itu. Tapi, rupanya ada rencana lain yang diciptakan untuk saya. Berikut saya coba deskripsikan sesuai kronologi waktu.
1. Kursus IELTS
"Mau beasiswa ke mana?", adalah pertanyaan di formulir pendaftaran kursus IELTS di IALF. Saya pun menuliskan "Belanda atau UK'. Sejak kuliah, saya ingin sekali melanjutkan studi ke Belanda. Kata orang, tidak ada tempat lain yang paling baik untuk mempelajari bidang hukum selain negeri kincir angin.
Saya mendaftar kursus bersama seorang rekan jurnalis sekantor. Kami bersemangat dan saling mendukung. Kami memilih IALF (Indonesia Australia Languange Foundation) bukan tanpa sebab. Tempat kursus ini direkomendasikan oleh rekan kami di kantor, yang sudah lulus beasiswa Deutsche Welled an saat ini sedang belajar di Bonn, Jerman. Baik saya maupun – sebut saja Ani – mengambil kesempatan untuk kursus persiapan IELTS mumpung ada waktu luang. Mulai Oktober 2014, kami akan disibukkan untuk peliputan pemilu presiden.
Kami mendaftar untuk kursus intensif 5 minggu mulai 2 September hingga 3 Oktober 2014. Bagi saya dan Ani, memilih jadwal kursus ini adalah perjuangan tersendiri. Kami memutar otak agar waktu kursus jam 18.30 – 21.00 tidak bertabrakan dengan jadwal liputan kami. Setelah nego dengan atasan, akhirnya kami meng-custom jadwal liputan. Saya sendiri, memilih dua kali shift subuh dalam sepekan. Luar biasa, kala shift subuh, saya keluar dari rumah pukul 04.30 subuh hari, dan kembali di rumah pukul 22.00 malam hari.
Selain pengaturan waktu, tantangan lainnya tugas. Dua orang guru native kami getol memberi tugas yang mewajibkan kami membuka kembali buku di perpustakaan IALF. Perpustakaan ini tutup pukull 19.00. jadi, sebelum kelas dimulai, kami sudah harus meng-hunting buku yang berkenaan dengan tugas. Beberapa kali, saat beruntung, kami bisa lebih cepat tiba di IALF – yang lokasinya bersebelahan dengan Kedubes Australia – untuk bisa membaca buku, mengerjakan tugas, ataupun menonton video tutorial di komputer yang disediakan.
Kelas kami, boleh dibilang semi-privat. Sekelas berisi maksimal 16 orang pelajar. Di kelasku, ada 2 orang jurnalis (Saya dan Ani), 3 orang bekerja di sektor energi, 2 orang di lembaga konsultan, 1 orang di lawfirm, dan sisanya karyawan swasta.
Seingat saya, semua dari kami, berniat mendapat skor IELTS yang mantap sebagai bekal untuk sekolah di luar negeri. 2 orang di antara kami sudah mendapatkan beasiswa LPDP. Mereka hanya perlu memantapkan skor IELTS agar bisa diterima di universitas yang mereka tuju. Saya sendiri? Sejujurnya masih belum mantap untuk mengambil beasiswa. Motivasi saya saat itu, adalah mendapatkan skor IELTS – selagi sempat – sebagai model untuk mengajukan beasiswa, tapi nanti.
Setiap kali rekan sekelas berbincang tentang beasiswa, atau perguruan tinggi di luar negeri, saya tidak antusias. Karena saya tidak tahu sebanyak yang rekan – rekan saya tahu. Namun, semua ini berubah di hari – hari terakhir kami menjalani kursus. Pembicaraan beasiswa semakin getol di tiap kesempatan. Di ruang makan, di perpustakaan, bahkan di dalam kelas, sebelum jam menunjukkan pukul 18.30.
Suatu waktu, pulang dari tempat les, saya mulai membuka – buka website beasiswa LPDP, dan membuka – buka nama kampus termashyur di Inggris.
Tepat di hari ulang tahun saya, 3 Oktober, kursus IELTS berakhir. Kamipun mengadakan "perpisahan" di Burger King Plaza Festifal, Kuningan, Jakarta Selatan. Kami berjanji tetap saling kontak. Sampai sekarangpun, grup whatsapp kami tetap aktif dengan saya sebagai admin-nya. Grup whatsapp itu kami namakan "IALF – Band 7". Sebuah harapan agar kami semua lulus tes IELTS dengan band atau skor 7.0.
2. Mendaftar beasiswa LPDP
Sepekan terakhir kursus IELTS, kami sering bertanya ke Lutfhan dan Shintya yang sudah diterima beasiswa LPDP. Untuk informasi selanjutnya, sayapun getol membuka website LPDP. Deadline pendaftaran untuk periode terakhir di tahun 2014 adalah 21 November. Salah satu syaratnya adalah menyetorkan hasil IELTS dengan skor minimum 6.5. Beberapa hari setelah kursus IELTS berakhir, sayapun mendaftar tes IELTS di IDP Pondok Indah.
Jam beberapa menit lagi menunjukkan pukul 9 pagi, tapi saya sudah tiba di kantor IDP. Saya ingat, saat itu, ibu saya ikut menemani dan membayarkan biaya tes sebesar 2,4 juta rupiah. Usai foto dan scan sidik jari, saya pun mengantongi bukti pembayaran untuk dibawa pada hari tes, 18 Oktober 2014.
Untuk memilih hari tes itu, saya sebelumnya sudah mengatur jadwal kerja. Maklum, sabtu – minggu bukanlah libur yang common di pekerjaan saya. Jam 7 pagi, saya sudah tiba di Sekolah Raffles untuk menjalani tes. Listening, Reading, dan Writing saya jalani dengan lancar. Sekitar jam 12 siang, peserta tes diberi jadwal ujian Speaking. Untunglah jadwalku tak terlalu sore. Jam setengah 3 adalah giliranku. Saatnya berpindah dari Sekolah Raffles menuju ke kantor IDP Pondok Indah.
Saya sebenarnya agak takjub dengan jumlah peserta tes IELTS. Saya membatin, begitu banyak orang dengan tujuan sama denganku. Mereka tidak bisa dibilang saingan secara langsung. Tapi sekali lagi, saya tidak menyangka peserta tes akan sebanyak ini. Soalnya, setiap bulan, IDP melaksanakan 4 hingga 5 kali tes IELTS. Sementara cabang IDP sendiri bukan hanya di Pondok Indah.
Sembari menanti skor IELTS, sayapun mengurus keperluan pendaftraran beasiswa. Awalnya, saya membuat akun di website LPDP. Di akun ini, saya mengisi data diri, dan mengunggah dokumen yang dibutuhkan. Semua progres di akun kita bisa di-save dan baru di-submit¬ setelah semuanya lengkap.
Pengisian data diri awalnya saya anggap adalah bagian termudah. Namun saya salah besar. Saya harus kembali membuka map tebal saya yang berisi berbagai sertifikat seminar maupun sertifikat prestasi. Lalu, saya beberapa kali menyocokkan data KTP, dan ijasah serta transkrip nilai. Setelah lengkap, tiba saatnya mengunggah dokumen – dokumen itu. Berhubung saat itu saya belum punya scanner seluruh dokumen ini saya "eksekusi" lewat scanner di kantor, hehee.
Sembari menjalani proses melengkapi unggahan dokumen, saya juga mulai menyicil 3 esai. Untunglah semua esai dibuat dalam bahasa Indonesia. Ada beberapa kali saya mengecek kembali isi esai sebelum memastikan esai ini bisa diunggah.
Tantangan yang tidak bisa dianggap remeh juga, adalah mencari surat rekomendasi dan surat izin atasan. Untuk mengatasi ini, sejak mengikuti kursus IELTS, saya sudah menghadap atasan saya. Saya menjelaskan keinginan melanjutkan studi, dan memberi sedikit proyeksi kapan saya harus "meninggalkan" kantor jika saya diterima. Untunglah semua atasan saya merespon positif. Surat izin atasan saya langsung ditandatangani oleh pemimpin redaksi (terimakasih untuk Ibu Rosianna Silalahi). Tak hanya itu, saya juga mendapatkan surat rekomendasi dari Wakil Pimimpin Redaksi Mas Yogi Nugraha (terimakasih pula untuk Mas Yogi).
Surat rekomendasi saya yang kedua juga tak kalah menantangnya untuk didapatkan. Rekomendasi yang satu ini saya dapatkan dari tokoh masyarakat, bisa dikata salah seorang negarawan tanah air. Saya ingat, seharian menyewa ojek untuk menyetorkan draft rekomendasi kepada sekretaris tokoh ini. Draft saya harus diperbaiki hari itu juga. Di sinilah saya berkenalan dengan Snapy, warung digital yang menyediakan solusi untuk scan, print, dan ketik dokumen. Sudah selesai? Belum. Saya masih harus dijadwalkan untuk bertemu langsung dengan sang tokoh untuk menjelaskan maksud saya, dan menyodorkan draf surat rekomendasi. Seingat saya, proses ini semua memakan waktu seminggu. Dengan semua peluh, dan dengan jantung yang berlomba karena semua saya lakukan sembari bekerja seperti biasa.
Huh hah.. akhirnya semua dokumen saya lengkap. Seluruh aplikasi LPDP saya setorkan 1 minggu sebelum waktu deadline sebenarnya tiba. Inilah yang saya selalu bagi kepada teman – teman saya yang ingin mendaftar LPDP. Buatlah deadline pribadi sebelum deadline yang sesungguhnya. Niscaya, tindakan ini akan banyak manfaatnya.
3. Mencari dan Mendaftar Universitas
Berkat teman di tempat kurus IELTS, saya mengenal IDP. Saat berkuliah di Makassar, saya sudah sering mendengar IDP. Bahkan saat SMA, saya pernah mengikuti pameran pendidikan luar negeri yang diselenggarakan IDP Makassar. Namun, saya benar – benar baru tahu, IDP bisa membantu aplikasi kita ke berbagai universitas ternama di luar negeri.
Saat proses mendaftar beasiswa LPDP inilah, tepatnya bulan Oktober 2014, saya bertandang ke kantor IDP di Kuningan, Jakarta Selatan. Saya memanfaatkan libur di hari kerja untuk bertemu salah satu konselor senior IDP. Tak perlu antre, sang konselor sangat ramah dan membantu. Saya menceritakan, bahwa saya ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri. UK adalah negara yang akan saya tuju, karena masa studi S2 di sana hanya 1 tahun. Lalu, saya adalah sarjana hukum, namun ingin melanjutkan studi di bidang media. Bekerja di media membuat saya menemukan passion saya di bidang ini.
Sang konselor mendengarkan, dan langsung menyebut 1 universitas; Cardiff University. Setelah sepakat dan memilih jurusan, saya mengirimkan file dokumen seperti ijasah dan transkrip nilai yang asli dan translated, halaman pertama paspor, serta esai atau motivation letter. Skor IELTS boleh menyusul karena saya baru akan tes pada 18 Oktober 2014.
Dua pekan lebih setelah aplikasi saya diterima Cardiff University, saya pun mendapatkan Letter of Acceptance Conditional. Bahagianya bukan main saat itu. Saya bisa melangkahkan kaki ke kampus yang terletak di Wales itu, jika IELTS saya mencapai skor 7.0. Rajin saya meminta kepada Allah SWT agar skor saya sesuai syarat dari Cardiff.
Sembari menunggu dan mengumpulkan dokumen syarat beasiswa LPDP, sayapun rajin berkunjung ke website Cardiff. Saya juga melihat – lihat website kampus lain yang sering saya dengar. Seperti University of Manchester, University of Leeds, University of Liverpool. Website di universitas – universitas ternama ini selalu menyediakan informasi yang lengkap bagi para pelamar. List program studi A-Z tersedia di website dengan penjelasan yang memadai. Umumnya, website sudah menyediakan modul apa yang akan kita pelajari, persyaratan, hingga profil lulusan. Terbayang oleh saya, begitu lebar jarak antara kampus – kampus dengan luar negeri yang ada di Indonesia. Mengingat saya belum pernah menemukan website kampus di Indonesia yang sangat informatif dan mudah layanan antarmuka (interface)nya sebagaimana dipunyai universitas – universitas di Inggris Raya.
4. Lolos Seleksi Administrasi
Perhatianku teralih dari urusan beasiswa. Setelah beres mengirimkan lamaran ke LPDP, saya kembali tenggelam ke pekerjaan. Kantorku kedatangan bos baru. Berbagai perubahan membuat kami excited dan berusaha menampilkan performa terbaik. Selain itu, saya dan keluarga akan berlibur untuk tahun baru di Singapura. Ini momen spesial, karena adik laki – laki akan bergabung setelah menjalani semester pertamanya di sebuah kampus di Kuala Lumpur.
Lalu, pada 25 atau 26 November 2014,
seorang kawan dari Makassar mengirimkan pesan di Line. "Selamat Okky,
lulus beasiswa LPDP". Astaga, hari ini adalah hari pengumuman, dan saya
lupa. Lalu menyusul pesan dari rekan saya melalui grup IALF. Sebelumnya, pada
24 November malam, saya mendapatkan SMS dari LPDP bahwa pengumuman hasil
seleksi sudah diumumkan di website. Sejurus kemudian, link website LPDP di SMS
tersebut saya klik. Namun, mungkin server sibuk. Akhirnya, saya melanjutkan
menyetir mobil pulang ke rumah, dan lupa mengecek website LPDP lagi keesokan
harinya.
27 November 2014, saya menerima email
berisi daftar peserta dan jadwal seleksi wawancara. Saya kebagian wawancara
tanggal 12 – 13 Desember 2014. Waktunya mengurus cuti kerja.
Here comes the next step.
(bersambung...)
1 comment:
Ditunggu lanjutannya, Kak :)
Post a Comment