Minggu, 17-08-2008
Merdeka di Mal, di Garasi hingga di Kampung Orang
:: Tim Panyingkul! ::
Ayo Bu…tarik tambangnya...
Ibu-ibu ikut lomba tarik tambang di Tokyo.
Foto : Lily Yulianti Farid.
Di Balikpapan, ada upacara bendera yang diadakan di pelataran sebuah mal. Cuaca yang kurang bersahabat membuat lomba rakyat digelar di garasi. Di Makassar, seorang warga mengeluhkan kompleks perumahan tempat tinggalnya yang cuek bebek dengan kegiatan HUT Proklamasi. Di Tokyo, ada sedikit inovasi : lomba makan mentimun. Pembaca, bagaimana suasana perayaan Ulangtahun Proklamasi RI ke-63 di tempat Anda? Bagilah di sini, seperti para citizen reporter yang mengabarkan kegiatan dari berbagai kota dan negara berikut ini. (p!)
Sisi lain perayaan HUT Proklamasi diceritakan citizen reporter Okky Nur Irmanita dari Perumahan Bosowa Indah, yang melaporkan suasana tempat tinggalnya sepi tanpa pesta rakyat. “Seperti tidak ada kehidupan. Di sore hari hanya ada beberapa bocah bermain futsal di badan jalan, yang sudah merupakan rutinitas tiap sore. Di sini tidak ada yang mengkoordinir lomba, semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Mengumpulkan warga susahnya minta ampun!”
Sehari sebelumnya, mahasiswi Fakultas Hukum Unhas ini menumpahkan uneg-uneg tentang makna peringatan ulangtahun kemerdekaan, yang katanya: “Kok tidak menggetarkan ya? Apa boleh buat, semangat nasionalisme saya dan anak-anak muda lainnya mulai memudar, ya? Cari bendera di rumah saja untuk dikibarkan, malasnya minta ampun.. ”
Refleksi dari Iran
Sementara itu dari Iran ada pertanyaan unik: pohon pinang itu seperti apa sih bentuknya? Pertanyaan ini mengusik benak citizen reporter Ismail Amin yang kali ini merayakan HUT Proklamasi di Qom. Ia menulis renungan singkat, semacam nostalgia. Dan ini yang membuatnya tersentak, sewaktu di tanah air, ia tidak begitu mempersoalkan lomba panjat pinang di kampugnya selalu menggunakan tiang listrik yang sudah tidak digunakan. Nantilah setelah ia jauh, barangkali didorong perasaan sentimental, ia mengais-ngais ingatannya: eh, pohon pinang itu yang mana ya?
Mahasiswa Indonesia merayakan kemerdekaan di KBRI Teheran di Iran.
Foto : Dokumentasi Ismail Amin.
Ismail Amin menulis, “Sewaktu masih SD, bulan Agustus adalah bulan yang saya tunggu-tunggu selain bulan Ramadan dan lebaran. Bulan yang penuh kenangan. Masih teringat dipelupuk mata sepekan sebelum 17 Agustus, saya dengan teman-teman sepermainan disibukkan dengan lomba-lomba dan pesta rakyat. Meski tidak terlibat dalam setiap perlombaan saya pun merasakan kegembiraan yang meluap-luap, menyoraki teman-teman yang sedang lomba balap karung., menonton bapak-bapak yang sedang bertanding bola dengan mengenakan daster atau melihat ibu-ibu bermain bola voli. Belum lagi panjat pinang yang telah menjadi ikon dari tradisi peringatan 17 Agustus, benar-benar sangat mendebarkan sekaligus menggelikan melihat mereka berpayah-payahan sekedar untuk memperebutkan payung, sebungkus biskuit dan baju kaos yang dipasang dipuncak tiang (tiang listrik bekas digunakan sebagai pengganti batang pinang, sampai sekarang saya juga belum pernah melihat pohon pinang seperti apa).”
“Saya tidak bisa terlibat langsung, karena saya punya kesibukan lain. Saya harus berjalan mengelilingi lapangan menonton setiap perlombaan sambil menenteng termos es. Ya, saya berkeliling menjual es lilin. Menyenangkannya karena selama satu pekan es saya laris manis. Sama halnya dengan petani yang panen besar, bagi pedagang keliling, terutama pedagang makanan di pesta agustusan, juga adalah masa panen raya. Tidak usah banyak bergerak, pembeli berdatangan.”
“Namun paradigma saya sedikit bergeser mengenai Agustusan yang penuh luapan kegembiraan, setelah saya meninggalkan kampung, dan kuliah di kota besar. Kerja-kerja intelektual yang saya geluti membuatk saya sedikit tahu keadaan bangsa ini. Banyak hal yang harus dibenahi dari bangsa ini. Sebab semuanya juga mengakui ada yang salah dari negeri ini. Terutama ketika saya harus meninggalkan tanah air dan berada di luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Di negeri orang, saya merasakan pemerintahnya benar-benar ada. Di Indonesia, hampir semua hal diurus dan diatur sendiri. Untuk peringatan 17 Agustus masyakat sendiri yang berinisiatif untuk memeriahkannya dan biaya ditanggung sepenuhnya masyarakat yang bergotong royong menyumbang uang. Berbeda ditempat saya sekarang berada, saya masih ingat bendera dan umbul-umbul yang dipasang sepanjang jalan dan perumahan penduduk semuanya dipasang dan ditanggung pemerintah.”
“Bahkan di hari H, tanggal 14 Februari setiap tahunnya saat rakyat Iran merayakan kemenangan revolusi Islam Iran masyarakat tinggal mengambil bendera kecil, poster-poster, spanduk, balon-balon berwarna bendera nasional mereka di kantor-kantor pemerintah untuk kemudian bersama-sama turun ke jalan. Semuanya ditanggung dan diusahakan pemerintah. Ratusan bus dioperasikan untuk mengangkut masyarakat dari pedesaan untuk bersama-sama merayakan hari kemenangan di kota-kota besar. Setiap 200 meter ada posko-posko yang menyediakan makanan dan minuman gratis. Belum lagi ritual ziarah ke taman makam pahlawan mereka dan hadiah yang diberikan negara kepada veteran perang dan keluarganya yang juga menghabiskan dana yang tidak sedikit. Mungkin ada yang mengatakan, banyak hal itu diberikan gratis karena warga negaranya membayar pajak. Tetapi rasanya kitapun taat membayar pajak. PBB, iuran televisi, urus izin apa saja (KTP, SIM, izin keramaian) kita bayar. Bahkan parkir dan masuk toilet umum pun ada pajaknya. Ketika merasakan adanya perbedaan ini, saya sadar bahwa ada yang tidak jalan dalam sistem pemerintahan kita. Pemerintah baru muncul saat ada mahasiswa atau buruh yang berdemo, pemerintah baru ada ketika sedang naik haji, atau studi banding ke luar negeri dengan biaya ditanggung negara. Pemerintah baru benar-benar terasa keberadaannya ketika mengumumkan kenaikan harga BBM. Benar kan ? Maaf kalau saya sangat subyektif. Tapi ini bukti cinta saya pada tanah air.”
Hormat bendera di Mal
Di mal kita upacara.
Foto : Mustamin al-Mandary.
Dari Balikpapan, citizen reporter Mustamin Al-mandary mengikuti upacara yang tempat pelaksanaannya mencerminkan realitas yang sangat dekat dengan kelas menengah atas: kehidupan yang tak lepas dari mal. Ya, upacara di Mall Fantasi digelar di kota minyak ini.
Suasana agak mendung ketika upacara hendak di mulai. Namun peserta tetap bersemangat, upacara berlangsung khidmat. Upacara di tempat ini dihadiri oleh beberapa komponen masyarakat, dari pegawai developer Sinar Mas yang mengelola mal tersebut, paguyuban, perusahaan servis, dan tentu saja yang tidak kalah penting adalah siswa siswi dan guru-guru dari SMP Katolik Santo Mikail Balikpapan yang menjadi petugas upacara.
Tapi ada yang cukup unik pada perayaan ini. Jika dilihat, mungkin ratusan perserta upacara dari berbagai komponen masyarakat ini 90 persennya adalah etnis Tionghoa. Memang, sebagian besar siswa siswi dan guru di SMP Katolik Santo Mikail adalah anak-anak etnis Tionghoa. Jika dilihat nama-nama yang terdapat di dada baju seragam mereka, bahkan nama-nama asli Tionghoa masih banyak yang bisa ditemukan. Apalagi, upacara ini juga disponsori oleh sebuah paguyuban etnis Tionghoa yang cukup terkenal di Balikpapan, Yayasan Sosial Budi Luhur.
Peserta upacara penuh semangat menghormat bendera.
Foto : Mustamin al-Mandary.
Selepas upacara, gerimis mulai turun. Tapi semua enggan bubar, pesta rakyat siap digelar. Ada senam Taichi, yang lagi lagi khas Tionghoa uga ada atraksi cheerleaders siswi SMP Katolik Santo Mikail.
Yang banyak ditunggu tentu saja dimulainya berbagai lomba. Ada satu lomba unil bernama Naga Nagi. Peserta membentuk kelompok terdiri dari 5 orang. Kelompok ini lalu membentuk barisan menyerupai naga, ada kepala dan ada ekor. Yang bertugas di ekor memegang beberapa balon, lalu naga-naga itu akan berkelahi dengan cara meletuskan balon yang ada di ekor lawan-lawannya. Kelompok yang bisa mempertahankan balon lebih banyak adalah pemenangnya.
Lomba lainnya adalah berjoget berpasangan dengan meletakkan balon di kening. Pasangan ini akan berjoget sepanjang lintasan tertentu, tidak boleh memegang balon dengan tangan, dan balonnya tentu saja tidak boleh jatuh sampai ke garis finish. Dan lomba yang ketiga adalah Gelang Berpindah. Setiap kelompok terdiri dari 10 orang dan mereka harus memindahkan gelang dari satu orang ke orang lainnya tanpa melepaskan pegangan masing-masing.
Acara yang dimeriahkan di tengah-tengah gerimis yang semakin deras ini sangat menarik. Hadiahnya sudah jelas kelas mal! Tidak tanggung-tanggung, panitia sudah menyiapkan hadiah yang juga tidak kalah menggiurkan: satu sepeda motor, satu kulkas, satu TV 21 inchi, dan 10 telepon CDMA. Betul-betul menggiurkan! Karenanya peserta sangat bersemangat mengikuti acara ini. Dan tentu saja, semangat itu lahir dari kegembiraan mereka yang merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta.
Lomba mengisi air perlu hati-hati..
Foto : Muhammad Ruslailang Noertika.
Masih dari kota Balikpapan, citizen reporter Muhammad Ruslailang Noertika mengirim foto-foto suasana lomba yang terpaksa pindah ke garasi warga karena cuaca yang tidak bersahabat. Ini perayaan sekali setahun, kegembiraan ini milik semua bangsa, hujan tidak boleh menjadi penghalang, demikian semangat peserta lomba yang ikut dalam berbagai adu ketangkasan.
Tetap senang meski pindah ke garasi. Merdeka!
Foto : Muhammad Ruslailang Noertika.
Sementara dari Cikarang, citizen reporter Amril Taufik Gobel mengabarkan persiapan lomba di kompleks perumahannya dilakukan utamanya oleh para ibu. Merekalah yang mengatur jadwal bahkan dana untuk membeli hadiah diperoleh dari uang arisan ibu-ibu tersebut. Sebanyak 40 KK di Perumahan Cikarang Baru bersuka cita di jalan, menjadi peserta lomba dan juga jadi tim penyemangat. Yang paling seru adalah lomba sepakbola sarung bapak-bapak yang ditutup dengan aksi gelar tikar dan makan nasi padang di “lapangan” pertandingan.
Hati-hati sarungnya, Pak..
Foto : Dokumentasi Amril T. Gobel.
Lomba makan kerupuk yang jadi nomor favorit anak-anak..
Foto : Amril T. Gobel.
Saudara Tua dan Lomba Makan Mentimun
Di KBRI Tokyo, citizen reporter Lily Yulianti Farid melaporkan, selain upacara bendera seperti biasanya, juga diadakan pemotongan tumpeng yang dikemudian diserahkan oleh Duta Besar Jusuf Anwar kepada orang Jepang tertua yang menjadi sahabat komunitas Indonesia di Tokyo. Mereka adalah Eizaburo Imazawa berusia 94 tahun dan Nobuo Ikegami berusia 89 tahun. Keduanya sangat aktif menghadiri berbagai acara yang berkaitan dengan persahabatan Indonesia – Jepang dan akhir bulan ini akan tampil menyanyikan lagu-lagu Indonesia, termasuk Anging Mammiri.
Saudara tua yang benar-benar tua bersama Dubes RI untuk Jepang, Jusuf Anwar.
Foto : Lily Yulianti Farid.
Lomba makan mentimun. Inovasi atau kekurangan kerupuk?
Foto : Lily Yulianti Farid.
Yang terasa menyenangkan dalam peringatan HUT Proklamasi kali ini di Tokyo karena cuaca musim panas yang bersahabat sepanjang siang, dengan langit mendung dan sejuk. Lomba yang digelar pun tak ada bedanya dengan yang diadakan di tanah air. Meski ada pengecualian, bahwa kali ini ada lomba makan mentimun. Wah… mentimun jepang yang hijau lonjong itu jelas lebih sulit dimamah dibandingkan kerupuk.
Nah, pembaca bagaimana peringatan HUT Proklamasi di tempat Anda? Bagilah di Panyingkul! (p!)
No comments:
Post a Comment