Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan. Pangan adalah kebutuhan akan makanan dan minuman, sandang adalah kebutuhan akan pakaian dan perhiasan, sedangkan papan adalah kebutuhan untuk tempat tinggal. Baik pangan, sandang, maupun papan, memerlukan unsur lain yang disebut tanah. Sumber makanan manusia baik tumbuhan, hewan, dan air berada di permukaan tanah. Bahan pakaian dan perhiasan juga didapat di tanah. Terlebih untuk tempat tinggal, pijakannya tentu saja adalah tanah.
Begitu pentingnya peranan tanah bagi keberlangsungan hidup umat manusia membuat pengaturan tanah adalah hal yang sangat strategis. Kebijakan di bidang pertanahan harus ditata sebaik mungkin agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Setelah kebutuhan manusia terpenuhi, patut dipastikan agar kebutuhan ini tidak saling bertabrakan satu dengan yang lain. Konsolidasi tanah atau penatagunaan tanah adalah salah satu kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut. Pemenuhan kebutuhan, dan di sisi lain adalah ketertiban.
Konsolidasi tanah adalah penatagunaan tanah, dimana setelah suatu areal tanah ditata, pemilik tanah dapat kembali mendiami areal tersebut. Hal itu berbeda dengan penataan tanah yang dilakukan oleh developer atau pengembang perumahan. Pengembang perumahan menata areal tanah, memberikan fasilitas umum dan fasilitas sosial, namun pemilik lama diberikan ganti rugi untuk tinggal di tempat lain. Konsolidasi tanah sebenarnya benar – benar memiliki manfaat, baik kepada pemilik tanah maupun kepada pemerintah.
Pemahaman masyarakat dan bahkan pemerintah yang masih minim, membuat konsolidasi tanah masih jarang diterapkan di Indonesia. Pemilik – pemilik tanah yang lokasinya strategis berlomba – lomba mencari pengembang propertl, lalu menjual tanah dengan harga mahal. Penataan tanah selanjutnya bergantung kepada pengembang property itu sendiri, yang tentu saja sebagaimana tujuan bisnis, yakni mengambil keuntungan sebesar – besarnya. Di lain pihak, pemerintah tidak terlalu terfokus terhadap hal – hal semacam ini karena dianggap menunjang iklim investasi untuk pembangunan di bidang perekonomian
Butuh semacam upaya yang konsisten untuk menggeser paradigma masyarakat dan pemerintah untuk menganut konsolidasi tanah demi tata ruang yang baik. Keuntungan dari konsolidasi, bukan hanya untuk lingkungan semata, tetapi juga bermanfaat signifikan terhadap nilai ekonomi tanah. Masyarakat yang menjadi objek konsolidasi tanah merasakan manfaat ini karena aksesibilitas tanah dari jalan umum menjadi lebih baik, sehingga harga tanahnya lebih baik pula. misalnua, tanah – tanah penduduk sebelum konsolidasi terdiri dari banyak lorong – lorong, drainase tidak teratur, tanah – tanah berbentuk tidak simetris, dan sebagainya. Setelah konsolidasi tanah, seluruh lingkungan tersebut ditata sedemikian rupa untuk memberikan akses, membuka drainase terpadu, dan mensimetriskan lahan.
Konsolidasi tanah ini juga memiliki kelemahan. Yakni, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Tetapi, ada solusi untuk masalah ini. Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat dapat turun tangan untuk tahap perencanaan, pengukuran,dan pemantauan. Masalah biaya dapat diambil dari “sumbangan” tanah warga yang dihitung secara proporsional berdasarkan “keuntungan” yang didapatkannya. Jadi, tidak ada yang tidak mungkin untuk menata tanah menjadi lebih baik dan memiliki nilai ekonomi tinggi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk memfokuskan bahasan, maka penulis mengangkat sebuah rumusan masalah, yakni; Bagaimanakah upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi tanah melalui mekanisme konsolidasi?
Pembahasan
Konsep “konsolidasi tanah perkotaan” menurut Oloan Sitorus:”sebagai kebijakan pertanahan di wilayah perkotaan (urban) dan pinggiran kota (urban fringe) mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan rencana tata ruang serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan guna peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan partisipasi masyarakat.[1] Dari sudut pandang yuridis, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, ditetapkan:
konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85 persen dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85 persen dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya.
Merujuk pasal di atas, obyek perjanjian antara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan pemilik tanah dalam konsolidasi tanah adalah tanah. Mengutip ten Berge, Philipus M. Hadjon menjelaskan, aspek aspek utama perbuatan hukum perdata oleh pemerintah berkaitan dengan:
(1) hak-hak kebendaan (recht op zaken);
(2) hak untuk menagih (vorderings rechten);
(3) melakukan perbuatan hukum (verrichten van rechts handelingen);
(4) hak menuntut berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum atau pembayaran yang tidak terutang (acties uit onrechtmatige daad of onverschulding betaling).
Dalam melakukan perjanjian perdata biasa, prinsip kewajiban untuk memenuhi perjanjian tersebut tunduk kepada asas-asas hukum perdata yaitu
(a) pacta sunt servanda;
(b)exeptio non adempleti contractus;
(c) perjanjian harus dibuat dengan itikad baik (te goeder trouw), rasional (redelijkheid) dan fair/adil (billijkheid).
Berdasarkan asas-asas tersebut pemerintah sangat dibatasi oleh hukum perdata, namun ruang kebebasan bagi pemerintah masih mungkin dengan mendasarkan pada asas kepentingan umum. Dalam kaitan dengan kepentingan umum yang harus dipertimbangkan adalah hakekat tugas pemerintah yang terkait dengan perjanjian dan hakekat kepentingan masyarakat.[2]
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan, tanah merupakan hak-hak kebendaan (vermogensrechten). Dengan demikian tanah merupakan salah satu aspek perbuatan hukum perdata yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk membuat perjanjian.
Peralihan Hak dalam Konsolidasi
Pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah adalah suatu tindakan peralihan hak atas tanah dari pemilik tanah kepada negara untuk ditata dalam konsolidasi tanah. Selanjutnya hak atas tanah yang telah dikuasai negara tersebut ditata dan dikembalikan lagi kepada pemilik tanah semula setelah dikurangi luas tanahnya sesuai kesepakatan. Makna “kesepakatan” dalam konsolidasi tanah adanya kesesuaian kehendak dari kedua belah pihak, dimana pihak yang satu berjanji melaksanakan konsolidasi tanah, sedangkan pihak yang lainnya berjanji untuk menyetujui rencana konsolidasi tanah termasuk besaran persentase tanah yang akan disumbangkan. Dengan demikian, pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah adalah peralihan hak atas tanah “bersifat sementara”. Sebaliknya pelepasan hak atas tanah dalam pengadaan tanah yang dikenal selama ini adalah peralihan hak untuk mengakhiri hak atas tanah. Tindakan pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah adalah melalui penyerahan “Surat Pernyataan Pelepasan Hak Dalam Rangka Pelaksanaan Konsolidasi Tanah” yang ditandatangani pemilik tanah dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau petugas yang ditunjuk. Langkah dalam pelepasan hak atas tanah adalah:
(a) pemilik tanah yang menyepakati pelaksanaan konsolidasi tanah datang sendiri ke kantor pertanahan Kabupaten/Kota untuk membuat surat pernyataan;
(b) apabila tanah tersebut sudah bersertifikat dan diagunkan/jaminan kredit, maka harus ada persetujuan kreditur yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota perlu memberitahukan secara tertulis kepada kreditur dan selanjutnya diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
(c) apabila tanah yang bersangkutan merupakan pemilikan bersama misalnya suami-istri, maka yang menandatangani Surat Pernyataan Pelepasan Hak adalah suami-istri (bersama-sama). Pada saat pelepasan hak/penguasaan fisik, sertipikat dan bukti-bukti lain diserahkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
(d) tanah-tanah yang telah menjadi aset pemerintah persetujuannya dari instansi yang bersangkutan.
Tindakan pelepasan hak atas tanah dari pemilik tanah kepada negara untuk menjadikan status tanah menjadi tanah yang langsung dikuasai negara dalam konsolidasi tanah adalah “unik”. Keunikan pertama, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur model pelepasan hak atas tanah seperti itu. Dengan kata lain model pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah tidak dikenal, baik berdasarkan BW, hukum adat, maupun atas dasar Undang-Undang Pokok Agraria. Keunikan kedua, tanah hasil dari pengurangan tanah semula adalah “Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP)” dengan tidak ada ganti rugi berupa uang. Ganti rugi dalam konsolidasi tanah adalah ganti rugi berupa lingkungan yang tertata rapi, semua tanah menghadap kejalan, terdapatnya fasilitas umum dan fasilitas sosial, dan kepastian hak atas tanah berupa sertifikat yang diperoleh secara cuma-cuma sebagai kompensasi atas tanah yang disumbangkan dalam konsolidasi tanah.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan; pertama, ada perbedaan antara pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah yang bersifat sementara dan pelepasan hak atas tanah dalam pengadaan tanah yang merupakan peralihan hak untuk mengakhiri hak atas tanah yang dikenal dalam hukum perdata seperti melalui jual beli, tukar menukar, atau yang dikenal dalam hukum administrasi seperti nasionalisasi, perampasan, pengambilalihan untuk kepentingan landreform, ataupun melalui pencabutan hak atas tanah (onteiguning) yang kemudian diganti rugi; kedua, keunikan pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah lebih disebabkan latar belakang penggunaan model konsolidasi tanah yang diadopsi dari negara lain (Taiwan).
Koordinasi Konsolidasi Tanah
Guna mengatur tata letak dan bentuk tanah dari yang tidak teratur menjadi teratur yang disesuaikan dengan rencana tata ruang, Pemerintah Daerah melakukan koordinasi dengan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai penerima mandat dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mensosialisasikan kepada masyarakat pada umumnya dan para pemilik tanah pada khususnya mengenai pentingnya pelaksanaan konsolidasi tanah dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.[12] [3]Makna ”partisipasi aktif masyarakat” dalam konsolidasi tanah memiliki arti adanya keterlibatan atau peran serta pemilik tanah secara langsung dalam penataan tanah. Partisipasi aktif masyarakat tersebut berupa sumbangan tanah untuk pembangunan dan atau uang atau bentuk lainnya. Yang dimaksud dengan bentuk lainnya adalah tenaga, yaitu bekerja di lokasi konsolidasi yang kemudian dinilai dengan uang. Penjelasan di atas sesuai ketetapan Pasal 6:
(1) Dalam rangka pelaksanaan penataan penguasaan dan penggunaan tanah obyek Konsolidasi Tanah, para peserta menyerahkan sebagian tanahnya sebagai Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan yang akan dipergunakan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya dan pembiayaan pelaksanaan Konsolidasi Tanah.
(2) Besarnya Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama peserta konsolidasi tanah dengan mengacu kepada Rencana Tata Ruang Daerah.
(3) Peserta yang persil tanahnya terlalu kecil sehingga tidak mungkin menyerahkan sebagian tanahnya sebagai Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan dapat mengganti sumbangan tersebut dengan uang atau bentuk lainnya yang disetujui bersama oleh para peserta Konsolidasi Tanah.
Dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan:
Pada azasnya pembiayaan Konsolidasi Tanah ditanggung para peserta Konsolidasi Tanah, melalui sumbangan berupa tanah dan atau berupa uang maupun bentuk-bentuk sumbangan lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 6.
Makna ketetapan di atas apabila ditelusuri mengandung pengertian; pertama, sebagai suatu upaya pemerintah untuk membimbing pemilik tanah agar hidup mandiri. Dengan kata lain agar tidak bergantung dari bantuan pihak lain; kedua, sebagai suatu upaya pemerintah untuk memberikan rangsangan dan dorongan serta motivasi kepada masyarakat untuk dapat membangun lingkungan beserta fasilitas yang dibutuhkan secara berdikari; ketiga, sebagai suatu upaya pemerintah untuk memupuk rasa percaya diri; keempat, sebagai suatu upaya pemerintah untuk menimbulkan rasa kebanggaan tersendiri bagi pemilik tanah karena bisa ikut berpartisipasi langsung dalam penataan kota atau daerahnya sesuai dengan rencana tata ruang; kelima, sebagai suatu upaya pemerintah untuk menghidupkan prinsip kegotongroyongan.
Jika saja faktor sosial atau lingkungan belum cukup merangsang masyarakat awam untuk turut aktif dan sukarela dalam mengikuti konsolidasi tanah, maka faktor ekonomi dapat menjadi stimulus bagi mereka. Petunjuk pelaksanaan bahkan telah dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional khusus untuk konsolodasi tanah. Dalam petunjuk ini, disebutkan poin mengenai musyawarah antara pemegang hak dan pihak yang memerlukan tanah tersebut. Output yang diharapkan dari hasil musyawarah ini adalah Berita Acara Musyawarah yang ditandatangani oleh pihak masyarakat yang terkena pengadaan tanah dan instansi yang memerlukan tanah, yang artinya adalah terjadinya kesesuaian kehendak antara masyarakat peserta konsolidasi dan BPN sebagai panitia konsolidasi.
Kesimpulan
Peningkatan nilai ekonomi tanah dapat dilakukan secara efektif melalui mekanisme konsolidasi tanah. Hal ini karena, melalui konsolidasi, suatu areal tanah menjadi lebih baik aksesibilitasnya terhadap fasilitas jalan raya dan fasilitas umum lainnya. Tantangan yang ditemui selama konsolidasi tanah adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai konsolidasi ini, terutama karena masyarakat harus mengorbankan sedikit tanahnya sebagai konsekuensi dari biaya keseluruhan konsolidasi tanah. Tantangan ini jalan keluarnya adalah memberikan pemahaman ke masyarakat melalui mekanisme musyawarah bahwa konsolidasi tanah memiliki keuntungan jangka panjang, khususnya di bidang ekonomi.
Referensi:
Dr Yudhi Setiawan Drs SH MSi, “Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) dalam Konsolidasi Tanah”. Disertasi. Ilmu Hukum Unair. 2008
Virgo Eresta Jaya. “Penataan Tanah dan Lingkungan melalui Konsolidasi Tanah”, Forum Komunikasi Pertanahan. 2009
Oloan Sitorus, “Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif Dalam Penataan Ruang di Indonesia”, Disertasi Ilmu Hukum USU 2002, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia Yogyakarta, 2006
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA)
[1] Oloan Sitorus, Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif Dalam Penataan Ruang di Indonesia, Disertasi Ilmu Hukum USU 2002, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia Yogyakarta, 2006 hlm.1
[2] Philipus M. Hadjon (III), hlm .2
[3] Dalam Bab I Ketentuan Umum nomor (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, konsep ”konsolidasi tanah”:
”…. untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat”
No comments:
Post a Comment