A.
Latar Belakang
Sumber daya perikanan adalah salah satu wujud
kekayaan alam Indonesia. Negara yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau ini
adalah tempat beagi berjuta ikan dan makhluk hidup lainnya. Setelah Kanada,
Indonesia adalah Negara yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia.
Kekayaan laut dan pesisir Indonesia ini adalah modal yang tidak terbantahkan
untuk melahirkan kemakmuran bagi segenap rakyatnya. Namun demikian, kenyataan
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling miskin di dunia adalah
tantangan sekaligus pertanyaan, dikemanakan sumber daya yang melimpah ruah yang
berada di bumi Indonesia.
Salah satu masalah yang membuat rakyat Indonesia
masih terpuruk adalah karena perampokan. Sumber daya alam di darat dan di laut
sama – sama menjadi sasaran empuk. Tak terkecuali sumber daya ikan. Direktorat
Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelauatan dan Perikanan
memperkirakan nilai kerugian itu mencapai Rp 20 triliun setiap tahun.[1]
Selain kerugian secara materil, penangkapan ikan illegal juga berdampak pada
ekosistem lingkungan. Selain itu, ditemukan pula fakta bahwa kapal ikan asing
yang ilegal ikut memanfaatkan subsidi bahan bakar minyak dan membayar pungutan
perikanan dengan tarif kapal Indonesia.
Penangkapan ikan secara illegal, atau yang
selanjutnya disebut pencurian ikan sangat merugikan nelayan tradisional.
Nelayan tradisional ini juga rakyat Indonesia. Secara luas, masyarakat pesisir
juga terkena imbas dari pencurian ikan ini. Selain itu, masyarakat lain yang
menjadi konsumen juga ikut dirugikan karena tidak bisa menikmati hasil laut di
negeri sendiri. Secara makro, ikan – ikan Indonesia yang dicuri, lantas diolah
dengan peralatan mumpuni sehingga meningkatkan harga jualnya di luar negeri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
realitas pencurian ikan di Indonesia?
2.
Bagaimanakah
kerugian dari segi ekonomi yang dialami Indonesia karena pencurian ikan?
C.
Pembahasan
Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan pencurian ikan (ilegal fishing) adalah pcncurian yang dilakukan
karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan
beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan
sumber daya ikan
Perkara pencurian ikan ternyata bukan hanya menjadi
masalah Indonesia. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 100
negara berperkara soal pencurian ikan. karena Kasus di Indonesia tampaknya
sudah pada taraf mengkhawatirkan. Kerugian yang dialami akibat pencurian ikan
ini bukan hanya kerugian yang dapat dirasakan saat ini, melainkan juga kerugian
di masa mendatang. Kerugian di masa yang akan datang ini disebabkan karena
menurunnya kemampuan sumber daya ikan itu sendiri.
Menurut Arief Satria dalam bukunya Ekologi Politik
Nelayan, maraknya praktik pencurian ikan ini bermula dari diterbitkannya
sekitar 7.000 Surat Izin Penangkapan Ikan (SPI) di masa lalu. SPI ini dicurigai
digunakan oleh kapal asing berbendera Indonesia. Asal dari kapal ini antara
lain dari Thailand, Taiwan, Cina, Filipina, Jepang, Korea Selatan, dll. TNI AL
menyatakan pencurian ikan adalah akibat dari SPI ini. Namun, TNI AL juga
berperan dalam kasus ini karena peranannya yang juga signifikan.
Beberapa perairan Indonesia yang rawan pencurian
antara lain perairan Natuna, Laut Sulawesi Utara, Halmahera, dan Arafura. Sementara
itu, anggaran pengawasan perairan tahun ini diturunkan dari 180 hari menjadi
100 hari dengan kapal patroli 22 unit. Keterbatasan itu menyebabkan kapal
patroli hanya mampu menangkap 25 persen dari kapal pencuri ikan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (Kiara) M Riza Damanik menyatakan, kerugian akibat praktik pencurian
ikan dan penangkapan ikan ilegal setiap tahun ditaksir mencapai Rp 30 triliun.
Kerugian tersebut masih ditambah dengan potensi kehilangan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 triliun setiap tahun.
Menurunnya waktu pengawasan dan semakin maraknya
pencurian ikan menyebabkan kerugian negara ditaksir meningkat 40 persen,
meliputi kerugian akibat hilangnya komoditas perikanan sebesar Rp 11 triliun-Rp
12 triliun dan penambahan kerugian PNBP sebesar Rp 20 triliun. Pencurian ikan
yang semakin marak, tak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengancam
ketahanan pangan nasional. Setiap tahun, sekitar 2,8 juta ton ikan dipasok oleh
nelayan kecil untuk kebutuhan nasional.
Anggaran pengawasan tahun 2010 semula dipatok Rp 320
miliar, tetapi Rp 40 miliar dialihkan untuk perikanan budidaya pada April. Dari
sisa anggaran pengawasan Rp 280 miliar, sebesar 70 persen dikelola oleh
pemerintah pusat. Hingga Juni 2010, ada 120 kapal ikan ilegal yang ditangkap
dan berasal dari Vietnam, Thailand, Filipina, China, dan Malaysia. Kapal-kapal
itu rata-rata berbobot mati lebih dari 70 ton dan bisa menghadapi gelombang
tinggi di laut.
Kegiatan Pencurian ikan yang paling sering terjadi
di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah pencurian ikan oleh Kapal-kapal
Ikan Asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit
untuk memetakan dan mengestimasi tingkat pencurian ikan yang terjadi di WPP-RI,
namun dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, (2005-2010) dapat
disimpulkan bahwa pencurian ikan oleh KIA sebagian besar terjadi di ZEE (Zona
Ekonomi Eksklusif) dan juga cukup banyak terjadi di perairan kepulauan (archipelagic state). Pada umumnya,
Jenis alat tangkap yang digunakan oleh KIA atau kapal eks Asing illegal di
perairan Indonesia adalah alat-alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl. Kegiatan pencurian ikan juga dilakukan oleh Kapal Ikan Indonesia
(KII).
Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering
dilakukan KII, antara lain: penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal
Pengangkutan Ikan (SIKPI)), memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana
ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap,
pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen
pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal), transshipment di laut, tidak
mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang
transmitter), dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
membahayakan melestarikan sumberdaya ikan.
Menurut praktisi perikanan, Mukhtar A.Pi , kerugian karena pencurian ikan antara lain adalah overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, iklim usaha
perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan
termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan pencurian ikan.
Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun sangat terkait
dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia pada kancah
International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola perikanannya dengan
baik.
Untuk dapat mengetahui, kerugian materil yang diakibatkan oleh Pencurian
ikan perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal
asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang
dicuri dan dibuang (discarded) sebesar
25% dari stok (estimasi FAO[2], 2001). Dengan asumsi
tersebut, jika MSY(Maximum Sustainable
Yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang
hilang di curi dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/tahun. Jika harga jual ikan di
luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30
triliun.
Pemerintah seharusnya meninjau kembali untung rugi
dalam menerbitkan SIP (Surat Izin Penangkapan). Kerugian ekonomi jangka panjang
dari sector perikanan ini disebabkan karena meningkatnya pemberian izin yang
berdampak pada terjadinya pencurian ikan oleh kapal asing. Selain itu, ternyata
pemberian izin ini juga menyebabkan transfer rente ekonomi yang tidak sebanding
bagi negara pemberi izin seperti Indonesia. Contohnya, studi terakhir
menunjukkan bahwa di Papua Nugini, perolehan ekspor dari satu kapal tuna
domestic ternyata jauh melebihi rente ekonomi yang diperoleh dari pemberian
izin kepada 130 kapal asing. Tidaklah mengherankan, jika Papua Nugini kemudian
memutuskan untuk menutup izin kapal asing yang suda beroperasi selama 40 tahun.
Korelasi antara pemberian izin bagi
kapal asing dan pencurian ikan oleh kapal asing ini akan menimbulkan dampak who fishes who eats fish. Alur
penangkapan ikan (who fish) mengalir
dari belahan benua utara ke selatan, namun alur siapa yang menikmati ikan (who eats fish mengalir sebaliknya.
Disinilah letak ketidakadilan ekonomi. Contohnya adalah negara – negara Afrika.
Mereka member izin kapal asing, dan juga terjadi penyalahgunaan karena banyak
ikan mereka dicuri. Tapi faktanya, rakyat Afrika justru mengalami kekurangan pangan.
D.
Kesimpulan
1.
Terdapat banyak
daerah di Indonesia yang rawan dengan pencurian ikan. Sebagian besar terjadi di
ZEE dan sebagian di laut territorial. Pemberian izin yang tidak disertai
pengawasan yang baik dari pasukan TNI menjadi sebab dari terjadinya pencurian
ikan ini.
2.
Pencurian ikan
di Indonesia sudah mencapai taraf mengkhawatirkan, dimana kerugian ekonomi yang
ditimbulkan tiap tahunnya rata – rata mencapai Rp 30 Triliyun.
E.
Daftar Pustaka
Akhmad Fauzi. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Marhwani Ria Siombo.2010. Hukum Perinakan Nasional dan Internasional. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta
Arif Satria. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Pelangi Aksara: Jakarta
No comments:
Post a Comment