Monday, October 31, 2011

Penangkapan Ikan Ilegal dan Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia


A.                Latar Belakang
Sumber daya perikanan adalah salah satu wujud kekayaan alam Indonesia. Negara yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau ini adalah tempat beagi berjuta ikan dan makhluk hidup lainnya. Setelah Kanada, Indonesia adalah Negara yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia. Kekayaan laut dan pesisir Indonesia ini adalah modal yang tidak terbantahkan untuk melahirkan kemakmuran bagi segenap rakyatnya. Namun demikian, kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling miskin di dunia adalah tantangan sekaligus pertanyaan, dikemanakan sumber daya yang melimpah ruah yang berada di bumi Indonesia.
Salah satu masalah yang membuat rakyat Indonesia masih terpuruk adalah karena perampokan. Sumber daya alam di darat dan di laut sama – sama menjadi sasaran empuk. Tak terkecuali sumber daya ikan. Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelauatan dan Perikanan memperkirakan nilai kerugian itu mencapai Rp 20 triliun setiap tahun.[1] Selain kerugian secara materil, penangkapan ikan illegal juga berdampak pada ekosistem lingkungan. Selain itu, ditemukan pula fakta bahwa kapal ikan asing yang ilegal ikut memanfaatkan subsidi bahan bakar minyak dan membayar pungutan perikanan dengan tarif kapal Indonesia.
Penangkapan ikan secara illegal, atau yang selanjutnya disebut pencurian ikan sangat merugikan nelayan tradisional. Nelayan tradisional ini juga rakyat Indonesia. Secara luas, masyarakat pesisir juga terkena imbas dari pencurian ikan ini. Selain itu, masyarakat lain yang menjadi konsumen juga ikut dirugikan karena tidak bisa menikmati hasil laut di negeri sendiri. Secara makro, ikan – ikan Indonesia yang dicuri, lantas diolah dengan peralatan mumpuni sehingga meningkatkan harga jualnya di luar negeri.
B.                 Rumusan Masalah
1.                  Bagaimanakah realitas pencurian ikan di Indonesia?
2.                  Bagaimanakah kerugian dari segi ekonomi yang dialami Indonesia karena pencurian ikan?

C.                Pembahasan
Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pencurian ikan (ilegal fishing) adalah pcncurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan
Perkara pencurian ikan ternyata bukan hanya menjadi masalah Indonesia. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 100 negara berperkara soal pencurian ikan. karena Kasus di Indonesia tampaknya sudah pada taraf mengkhawatirkan. Kerugian yang dialami akibat pencurian ikan ini bukan hanya kerugian yang dapat dirasakan saat ini, melainkan juga kerugian di masa mendatang. Kerugian di masa yang akan datang ini disebabkan karena menurunnya kemampuan sumber daya ikan itu sendiri.

Menurut Arief Satria dalam bukunya Ekologi Politik Nelayan, maraknya praktik pencurian ikan ini bermula dari diterbitkannya sekitar 7.000 Surat Izin Penangkapan Ikan (SPI) di masa lalu. SPI ini dicurigai digunakan oleh kapal asing berbendera Indonesia. Asal dari kapal ini antara lain dari Thailand, Taiwan, Cina, Filipina, Jepang, Korea Selatan, dll. TNI AL menyatakan pencurian ikan adalah akibat dari SPI ini. Namun, TNI AL juga berperan dalam kasus ini karena peranannya yang juga signifikan.
Beberapa perairan Indonesia yang rawan pencurian antara lain perairan Natuna, Laut Sulawesi Utara, Halmahera, dan Arafura. Sementara itu, anggaran pengawasan perairan tahun ini diturunkan dari 180 hari menjadi 100 hari dengan kapal patroli 22 unit. Keterbatasan itu menyebabkan kapal patroli hanya mampu menangkap 25 persen dari kapal pencuri ikan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Riza Damanik menyatakan, kerugian akibat praktik pencurian ikan dan penangkapan ikan ilegal setiap tahun ditaksir mencapai Rp 30 triliun. Kerugian tersebut masih ditambah dengan potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 triliun setiap tahun.
Menurunnya waktu pengawasan dan semakin maraknya pencurian ikan menyebabkan kerugian negara ditaksir meningkat 40 persen, meliputi kerugian akibat hilangnya komoditas perikanan sebesar Rp 11 triliun-Rp 12 triliun dan penambahan kerugian PNBP sebesar Rp 20 triliun. Pencurian ikan yang semakin marak, tak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengancam ketahanan pangan nasional. Setiap tahun, sekitar 2,8 juta ton ikan dipasok oleh nelayan kecil untuk kebutuhan nasional.
Anggaran pengawasan tahun 2010 semula dipatok Rp 320 miliar, tetapi Rp 40 miliar dialihkan untuk perikanan budidaya pada April. Dari sisa anggaran pengawasan Rp 280 miliar, sebesar 70 persen dikelola oleh pemerintah pusat. Hingga Juni 2010, ada 120 kapal ikan ilegal yang ditangkap dan berasal dari Vietnam, Thailand, Filipina, China, dan Malaysia. Kapal-kapal itu rata-rata berbobot mati lebih dari 70 ton dan bisa menghadapi gelombang tinggi di laut.
Kegiatan Pencurian ikan yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah pencurian ikan oleh Kapal-kapal Ikan Asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit untuk memetakan dan mengestimasi tingkat pencurian ikan yang terjadi di WPP-RI, namun dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, (2005-2010) dapat disimpulkan bahwa pencurian ikan oleh KIA sebagian besar terjadi di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan juga cukup banyak terjadi di perairan kepulauan (archipelagic state). Pada umumnya, Jenis alat tangkap yang digunakan oleh KIA atau kapal eks Asing illegal di perairan Indonesia adalah alat-alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl. Kegiatan pencurian ikan juga dilakukan oleh Kapal Ikan Indonesia (KII).
Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII, antara lain: penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI)), memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal), transshipment di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang transmitter), dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang membahayakan melestarikan sumberdaya ikan.
Menurut praktisi perikanan, Mukhtar A.Pi , kerugian karena pencurian ikan antara lain adalah overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan pencurian ikan. Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia pada kancah International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola perikanannya dengan baik.
Untuk dapat mengetahui, kerugian materil yang diakibatkan oleh Pencurian ikan perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri  dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi FAO[2], 2001). Dengan asumsi tersebut, jika MSY(Maximum Sustainable Yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang hilang di curi dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/tahun. Jika harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 triliun.

Pemerintah seharusnya meninjau kembali untung rugi dalam menerbitkan SIP (Surat Izin Penangkapan). Kerugian ekonomi jangka panjang dari sector perikanan ini disebabkan karena meningkatnya pemberian izin yang berdampak pada terjadinya pencurian ikan oleh kapal asing. Selain itu, ternyata pemberian izin ini juga menyebabkan transfer rente ekonomi yang tidak sebanding bagi negara pemberi izin seperti Indonesia. Contohnya, studi terakhir menunjukkan bahwa di Papua Nugini, perolehan ekspor dari satu kapal tuna domestic ternyata jauh melebihi rente ekonomi yang diperoleh dari pemberian izin kepada 130 kapal asing. Tidaklah mengherankan, jika Papua Nugini kemudian memutuskan untuk menutup izin kapal asing yang suda beroperasi selama 40 tahun.
Korelasi antara pemberian izin bagi kapal asing dan pencurian ikan oleh kapal asing ini akan menimbulkan dampak who fishes who eats fish. Alur penangkapan ikan (who fish) mengalir dari belahan benua utara ke selatan, namun alur siapa yang menikmati ikan (who eats fish mengalir sebaliknya. Disinilah letak ketidakadilan ekonomi. Contohnya adalah negara – negara Afrika. Mereka member izin kapal asing, dan juga terjadi penyalahgunaan karena banyak ikan mereka dicuri. Tapi faktanya, rakyat Afrika justru mengalami kekurangan pangan.

D.                Kesimpulan
1.                  Terdapat banyak daerah di Indonesia yang rawan dengan pencurian ikan. Sebagian besar terjadi di ZEE dan sebagian di laut territorial. Pemberian izin yang tidak disertai pengawasan yang baik dari pasukan TNI menjadi sebab dari terjadinya pencurian ikan ini.
2.                  Pencurian ikan di Indonesia sudah mencapai taraf mengkhawatirkan, dimana kerugian ekonomi yang ditimbulkan tiap tahunnya rata – rata mencapai Rp 30 Triliyun.

E.                 Daftar Pustaka
Akhmad Fauzi. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Marhwani Ria Siombo.2010. Hukum Perinakan Nasional dan Internasional. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Arif Satria. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Pelangi Aksara: Jakarta


[1] Erlangga Djumena. Pencurian Ikan Negara Tekor Rp 20 T. Kompas.com. Diakses pada 30 Oktober 2011
[2] Food And Agriculture Organization, Badan PBB unuk urusan pangan

No comments: