Wednesday, July 3, 2013

Catatan dari Miangas

Pertama kali saya menginjakkan kaki ke perbatasan Indonesia, adalah pada tanggal 20 Mei 2013. Dan perbatasan itu, adalah di bagian utara tanah Minahasa, tepatnya di Pulau Miangas.
Miangas adalah pulau paling utara di Indonesia. Kita tentu masih ingat kalinmat "Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote".
Inilah Miangas, tempat yang sebenarnya saya impi-impikan selama ini.

Menengok 5 tahun lalu, tepatnya pada bulan Desember tahun 2008. Saya masih sangat bersemangat menjalani hari baru sebagai mahasiswa hukum di Unhas, Makassar. Bersama para sahabat, saya berjibaku melawan rasa penat dan prokrastinasi, untuk menyelesaikan proyek karya tulis ilmiah kami yang pertama. Karya tulis ini menguraikan pentingnya pennjaminan kedaulatan terhadap 12 pulau terluar di Indonesia.

Senja di atas KRI Slamet Riyadi, kapal perang yang membawa kami ke Miangas

Salah satu dari 12 pulau terluar itu adalah Miangas, tempat yang kelak saya datangi 5 tahun kemudian. Sebelum berangkat ke Miangas, saya mengabarkan rencana sahabat saya, Nia. Nia membalas pesan di twitter saya dengan kalimat yang tidak akan pernah saya lupa. "Kamu tidak ingat, pernah tertidur di atas peta, ketika kita dulu menyusun karya tulis". Begitu kira - kira. Saya sendiri lupa pernah tertidur di atas peta sulawesi, ketika bergadang menyusun karya tulis waktu itu. Mungkin ini menjadi pertanda, mimpi saya ke Miangas akan jadi nyata.

---

Pekerjaan sebagai wartawanlah yang mengantarkan saya ke Miangas. Suatu siang ketika sedang liputan di Jakarta, saya ditelepon koordinator liputan untuk menyiapkan diri. Esok hari saya dan seorang kameramen, akan berangkat bersama rombongan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Liputan ini sifatnya undangan. Jadi, kami mengikuti seluruh agenda dari sang pengundang, yang tidak lain adalah Kemenpora.

Kegiatan yang saya ikuti ini diberi nama "Merajut Indonesia". Di Miangas, acara dirangkaikan dengan Hari Kebangkitan Nasional 21 Mei. Merajut Indonesia akan diselenggarakan di 4 titik terluar Indonesia. Miangas, Rote, Sabang, lalu Merauke. Dan ditutup pada hari sumpah pemuda 28 Oktober, di titik kathulistiwa, Samarinda.

-----
19 Mei 2013
Pukul 6.30
Saya, wartawan lain, dan panitia dari kemenpora sudah berkumpul di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kami berangkat dengan pesawat pukul 9 pagi.

Pukul 12.30
Kami tiba di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, untuk transit selama 30 menit sebelum melanjutkan penerbangan ke Manado. Ingin rasanya singgah di kota Makassar ini. Nyaris 6 bulan sejak kunnjungan terakhir. Sejak wisuda sarjana saya pada akhir Desember 2012.

Pukul 15.30
Tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado. Kami langsung menuju bus yang sudah disiapkan untuk ke Kota Bitung. Di Bitung, kami menginap satu malam di Hotel Nalendra, untuk keesokan paginya menaiki Kapal Perang Slamet Riyadi, menuju tempat yang dinanti, Pulau Miangas.

20 Mei 2013
Pukul 05.00
Saya dan kameramen bangun lebih pagi dari yang lain. Kami sudah berada di Pasar tradisional Bitung, sekitar 500 meter dari hotel. Rencananya, kami menggarap liputan soal aktivitas sosial ekonomi masyarakat Bitung. Ternyata, pasar tidak seramai biasanya. Ketika itu hari minggu, dan mayoritas warga sudah berada di gereja untuk beribadah. Tapi, tetap saja, kami berhasil merampungkan liputan dengan beberapa wawancara.

Suasana pasar sekaligus dermaga tradisional di Kota Bitung.

Pukul 07.00
Menteri Pemuda dan Olahraga tiba di lapangan Lantamal. Dilakukan upacara pembukaan Merajut Indonesia. Pesertanya adalah siswa - siswi di Bitung, dan beberapa delegasi siswa dari Manado. Delegasi ini akan ikut bersama kami naik kapal perang ke Miangas. Selain itu, ada pula Gubernur Sulawesi Utara, SH Sarundajang, dan beberapa fungsionaris KNPI Sulawesi Utara.



Pukul 09.00
Rombongan naik ke KRI Slamet Riyadi. Saking cepatnya proses naik penumpang, saya terpaksa melakukan on cam dengan hanya 1 kali take, tidak diulang. Prajurit di kapal sudah memanggil - manggil seluruh rombongan untuk bergegas.

Dari Bitung, kami akan mengarungi samudera selama lebih dari 20 jam, untuk tiba di Miangas.


21 Mei 2013
Perjalanan melelahkan. Untung saja ombak masih sedikit bersahabat. Mendekati Miangas, kami dimanjakan dengan pemandangan spektakuler. Kami bisa menyaksikan Matahari keluar dari peraduannya. Sungguh "sunrise" yang indah.

07.30
Kami sudah di hadapan Miangas. tidak ada pelabuhan. Jadi, kami harus naik kapal yang lebih kecil. Tidak bisa menghindar dari air. Karena kapal yang lebih kecilpun tidak bisa benar - benar sandar di bibir pantai.

 Matahari sangat terik. Tapi lelah dan panas, tak mengurangi antusiasme kami untuk menikmati pemandangan pulau ter-utara ini. Warga sudah dibagikan kaos "Merajut Indonesia". Merah putih di mana - mana. Pasukan marinir pun, menerapkan senyum salam sapa.

Saya langsung mengajak ngobrol 2 orang prajurit marinir di bibir pantai. Jadi bekal untuk saya, untuk meliput seluk beluk pulau. Sebab, informasi dari panitia, rombongan hanya 6 jam di Miangas. Inti acara adalah upacara Hari Kebangkitan Nasional.

Meninggalkan kameramen dan wartawan lain, saya bersikeras ikut seorang marinir yang ingin ke posnya. Syukurlah, marinir ini mengiyakan, setelah sebelumnya tidak yakin saya bisa mengikutinya jalan cepat sejauh 1 kilometer.

08.30
Saya kembali ke bibir pantai. Tempat balai desa menyediakan sarapan, dan lapangan upacara tidak jauh dari situ.
Upacara hari kebangkitan nasional dimulai. Bangga dan kagum dengan anak - anak miangas yang menyanyikan Indonesia Raya dengan semangat meskipun penuh peluh alias keringat.
Cuaca khas pesisir masih menghinggap. Matahari seakan ikut memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih.

10.00
Upacara selesai, saatnya membuat liputan. Meski Menpora masih ada kegiatan lainnya, termasuk video conference dengan Menkopolhukam, kami para wartawan, memilih jelajah Miangas.

Sayang, waktu yang sempit menjadikan kami tidak bisa maksimal. Namun, saya masih sempat menggarap liputan soal personalisasi marinir di perbatasan, kehidupan sosial ekonomi warga, sekaligus liputan mengenai kegiatan merajut Indonesia.

12.30
Time to go home.
Prajurit dari KRI Slamet Riyadi turun ke daratan. Menyampaikan, kapal akan segera berangkat.
Full Disiplin.
Kapal segera kembali ke Bitung Via Talaud, pada pukul 13.00

--
Kesan saya terhadap Miangas, setelah 6 jam berada di sana, cukup jauh dari Espektasi. Khususnya, soal kabar - kabar miring yang beredar di beberapa artikel di internet.
Isu yang sering diangkat, adalah soal keamanan dan ancaman terhadap kedaulatan.
Bahwa sering terjadi pencurian ikan, jalan masuk teroris, warga menggunakan mata uang peso, dan sebagainya.

Saya, dan juga wartawan lainnya, tidak bisa membuktikan isu tersebut. Bisa karena dua hal. Karena kami hanya sebentas saja di dataran Miangas, atau karena kunjungan Menpora membuat warga tidak mengungkap secara spontan apa yang sesungguhnya terjadi di tanah mereka.

Tapi, optimisme tetap ada. Terutama, karena keramahan warga di Miangas. Marinir - marinir yang saya ajak berbincang, juga mengamini, bahwa Miangas tidak seperti yang tertulis di internet. Warga Miangas masih sangat menjunjung kearifan lokal. Hampir tidak ada kriminalitas. Apalagi, soal isu bahwa Miangas menjadi tempat menyeberang teroris dari Davao, Filipina.

Hingga kembali ke Jakarta, saya masih terus teringat wajah Miangas. Wajah kekayaan negeri kita, wajah harapan saudara - saudara kita, dan wajah pemberi insipirasi Indonesia.


----

No comments: