"Don't be a Desk Hog!"
Tulisan ini tertempel di dinding - dinding depan lift perpustakaan sejak bulan April lalu. Poster - poster ini menyantumkan logo Student Representative Council (SRC) - semacam BEM di kampus - serta logo Glasgow University Library. Bisa diasumsikan, pesan ini brought to you by kedua lembaga yang saya sebut tadi.
Apa sih Desk Hog itu?
Menurut Google Translate, Hog artinya babi atau juga bisa diartikan sebagai 'orang kotor yang rakus'. Benar saja, dalam setiap poster "Don't be a Desk Hog" ada logo babi di situ.
Kampanye ini, selain lewat poster, juga aktif disebarkan di media sosial. Di twitter, hampir tiap hari @uofglibrary ngetweet soal imbauan jangan rakus memakai meja di perpustakaan.
Jadi, Desk Hog adalah julukan bagi sesiapa yang 'menginvasi' meja - meja di perpustakaan. Berkut ilustrasinya:
- Tag meja dulu pagi - pagi, terus balik lagi ke kosan.
- Tag meja untuk diri sendiri dan teman. Ada juga kasus, 'tag massal' ini menginvasi 3 meja sekaligus.
- Jam 12 tinggalkan meja untuk makan siang, baru kembali lagi usai makan malam.
Praktik Desk Hog seperti di atasnya sebenarnya lazim terjadi. Bahkan saya pun pernah melakukan hal - hal di atas (kecuali tag 3 meja sekaligus - saya hanya pernah tag 2 meja :D).
Yang problematik, ketika musim ujian seperti bulan April - Mei seperti sekarang. Meja - meja di perpustakaan sanagt high demand. Mahasiswa datang dengan tiap kebutuhan. Melakukan resensi, mengetik esai, melakukan in - depth reading, dan melakukan presentasi kelompok. Semua fasilitas untuk beragam aktivitas ini tersedia di perpustakaan. Sayangnya, jumlah mahasiswa dan ketersediaan fasilitas tidak selaras.
Kemarin, Senin (2/05/16), saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa satu meja belajar sangat berharga dan betapa wujud Desk Hog akut itu benar benar nyata.
Saya tiba di perpustakaan beberapa menit lagi jelang jam 09.30. Sudah tidak banyak meja lowong di Level 5 Postgraduate Study Room. Akhirnya saya duduk di sebelah mahasiswa Tiongkok. Saat saya mengeluarkan laptop, baru saya sadari, ada buku catatan punya mahasiswa sebelah saya yang diletakkan 'di area' meja saya. Wah, kayaknya pengen nge - tag nih si doi, pikirku dalam hati.
Sementara, di sebelah kanan saya, ada meja belajar tunggal yang tak berpenghuni. Tapi saya tidak duduk di situ, karena di atas meja ada setumpuk handout. Pertanda kalau meja itu sudah ditag.
Menjelang jam 10, seluruh meja di ruangan sudah ada 'berpenghuni'. Hingga jam 11, beberapa orang masih masuk ke ruangan yang menggunakan akses ID Card ini. Mereka hanya bisa mondar - mandir kesal karena TIDAK ADA LAGI meja yang lowong.
Sampai akhirnya, ada satu pemuda dengan nafas terengah - engah mendekati satu - satunya meja yang kosong - yang tak lain adalah meja di sampingku.
Diambilnya setumpukan handout di atas meja, lalu dihempaskannya ke sebelah kiri - bawah meja. Dia lalu membuang badannya ke kursi dan mengeluarkan laptop, satu can kopi Starbucks, serta satu botol jus jeruk. Dia adalah pemuda bule yang setengah marah dan setengah demanding untuk belajar, mengerjakan tugas, mengetik, atau apapun itu - menggunakan laptopnya.
Saat jam makan siang, saya sempat ke ATM di Byres Road sekaligus singgah ke Hillhead Library dan membuat member card di sana. Hampir satu jam saya tinggalkan meja saya. Dengan penuh perasaan bersalah tentunya. Di ruangan, beberapa kursi juga ditinggal, pertanda pemiliknya sedang 'keluar makan siang'.
Di lobi perpustakaan, buanyak sekali mahasiswa. Sebagian malah melantai. Antrean kopi di Library Cafe juga tak ubahnya hari - hari biasa. Mbak - mbak pegawai di kafe terlihat lelah. Di sudut mata kirinya, ada lelehan eyeliner yang mungkin akibat dirinya mengucek mata.
Hari ini, Selasa (3/05/16), perpustakaan masih ramai sekali. Saya kembali ke Postgraduate Level 5. Beberapa hari ini, saya memutuskan akan membawa laptop saja. Jaga - jaga kalau tidak dapat PC. Di artikel sebelumnya [http://okkyirmanita.blogspot.co.uk/2016/03/postgraduate-study-space.html] saya menulis, saya lebih senang di Level 3 atau 4. Level 3 terutama, karena boleh makan, boleh menerima telepon, dan boleh mengobrol.
Tapi, untuk musim ujian ini, saya akan bertahan di level 5 - yang hangat - dan membawa laptop.
Rekor hari ini: 09.32, dan sudah ada mahasiswa yang terpaksa keluar ruangan karena tidak mendapat tempat.
Library Tempat Belajar
Seberapa sering saya mengakses perpustakaan di kampus - kampus Indonesia? Rasionya mungkin 10 dibanding 1 jam. Iya, sejak kuliah di UofG, persepsi saya tentang perpustakaan menjadi berbeda. Di sini, perpustakaan adalah nyawa mahasiswa.
Bukan hanya karena resource yang dimiliki library: buku, koleksi peta, koleksi video book, dan lain - lain. Melainkan juga karena pola belajar di sini yang menekankan kemandirian belajar mahasiswa. Untuk mengakomodasi hal tersebut, kampus membuatlah "pusat belajar" dengan segudang fasilitasnya.
Tidak hanya untuk invidual learning, perpustakaan juga menyediakan group study room yang bisa digunakan untuk kerja kelompok. Dalam ruangan kerja kelompok, juga disediakan perlengkapan untuk presentasi.
Perpustakaan juga mendorong hasrat kreativitas mahasiswa. Terutama di level 3, ada beberapa spot untuk hangout. Di depan kantin alias Food for Thought - Library Cafe, ada deretan meja bar yang lengkap dengan colokan listrik.
Di depannya, ada pula meja bulat - bulat dan kursi. Di sudut yang transparan karena jendela besar, ditaruh sofa - sofa hitam yang nyaman sekali digunakan untuk bercengkerama.
Kalau sudah menggebu - gebu memaparkan fasilitas di Libary UofG, saya selalu bermimpi perguruan tinggi di Indonesia juga punya fasilitas selengkap ini. Setidaknya ada sebuah tempat untuk study centre yang juga jadi inkubator untuk kreativitas mahasiswa. Mengakomodasi mahasiswa yang ingin jadi peneliti, jadi orator, atau bahkan jadi pusat inspirasi bagi mereka yang ingin terjun ke industri lifestyle.
No comments:
Post a Comment