Tuesday, May 3, 2011

Balada di Atas Pete-pete

Angkutan Kota (angkot) di Makassar diistilahkan dengan pete -pete. Pete - pete ini ada yang warnanya biru muda, dan ada yang berwarna merah untuk angkutan luar kota dalam provinsi. Saya termasuk warga yang tidak sering menggunakan moda transportasi ini. Hari Senin 3 Mei 2011 lalu, saya akhirnya naik pete - pete dari kampus Unhas menuju rumah. Di kawasan kampus, Pete - pete kode 07 ini berisikan 4 penumpang, kesemuanya perempuan, termasuk saya. Semuanya mahasiswa. Namun, 3 penumpang lain ternyata tidak lama kemudian sampai di tujuannya.

Untunglah, bukan saya seorang yang diangkut si sopir yang masih muda itu. Sekitar 1 km keluar kampus, naiklah gerombolan ibu - ibu dengan kantong plastik warna hijaunya dengan riuh rendah dan nada suara ceria. Kesemuanya orang Makassar, menggunakan bahasa Makassar untuk komunikasi. Tidak jauh dari gerombolan ibu - ibu itu, sopir pete - pete mengurangi kecepatan dan menginjak rem, lalu mengambil lagi ibu - ibu dengan kantong belanjaan juga. Oh iya, sekarang tanggal muda, orang - orang baru gajian, batinku. Suami - suami ibu - ibu ini pastibaru saja gajian, dan menyisihkan penghasilan mereka untuk belanja istri dan keperluan rumah tangga lainnya.

Di perjalanan, salah seorang ibu nyeletuk dalam dialek Makassar. "Ihhh, andaikan cukup uangku tadi, kubelimi itu tasyang baguska. Hmm, tapi tunggu - tunggumi dulu kutabung uangku". yang lain menimpali, "Iye, padahal lamata' mi lagi memilih.. ". Mereka, ibu - ibu kalangan menengah, dari cerita mereka saya mengambil kesimpulan, keluarga mereka sangat berkecukupan, dibuktikan dengan pembicaraan selanjutnya. "Bu, ini anakku maumi masuk SD, mahalnya bayarnya, baru uang masuk saja 700ribu lebih..". Yang lain menimpali "Iye, mungkin kalau adiknya masuk SD sudah 1 jutami lebih..".

Ibu - ibu di manapun juga di Indonesia tentu saja mengeluh soal biaya pendidikan anak mereka yang makin hari makin melonjak. Tiap tahun harus beli buku, beli LKS (Lembar Kerja Siswa), kalau sudah kusam, harus beli seragam baru, kalau rusak harus beli sepatu baru, tas baru, pokoknya ibu - ibu harus mengikat pinggang tiap tahun ajaran baru. Tetapi, mengapa ibu - ibu lebih bangga jika membelikan anaknya baju lebaran baru, ponsel teranyar, kendaraan, dan mengeluh ketika anak mereka membayar SPP atau membeli buku?.

Mungkin saja ibu - ibu di Indonesia akan lebih ikhlas mengeluarkan biaya untuk pendidikan anak mereka jika pendidikan juga menghasilkan "bukti" atau peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mengenyam pendidikan itu. Masyarakat Indoensia adalah masyarakat konsumtif, saya pernah baca datanya bahwa kredit konsumsi di Indoensia mencapai 60%, dibandingkan dengan kredit untuk usaha sektor ril seperti perkebunan yang hanya 3%. Pengguna kartu kredit melonjak, pembelian gadget dan kredit kepemilikan kendaraan juga tiap tahun mengalami kenaikan. YA, gaya hidup untuk masyarakat Indonesia hari ini telah mengenyampingkan gaya hidup untuk pendidikan. Seyogyanya, ibu - ibu harus lebih mendorong anak - anak mereka menghabiskan uang untuk membeli buku, untuk ikut kursus,maupun untun biaya - biaya yang dapat meningkatkan skill anak - anaknya.

Balada di atas pete - pete yang saya alami di hari senin yang rintik - rintik juga mengandung keluh kesah ibu - ibu Indonesia yang harus berhadapan dengan naiknya harga kebutuhan pokok, pendidikan mahal yang tidak disertai profesionalitas manajemen pendidikan, gaji yang semakin dirasa kurang karena tingginya inflasi, dan mereka itu terjepit karena suami - suami mereka mungkin saja terancam PHK, mungkin juga kurang memiliki skill untuk naik pangkat, dan mungkin pasti tidak memiliki modal uang atau kreativitas untuk menjadi entrepreneur yang mandiri.

No comments: